James Montgomery Boice
Penyebab terbesar dari kekacauan di dalam gereja dewasa ini adalah kurangnya otoritas yang dapat disandari. Banyak usaha dilakukan untuk mensuplai otoritas ini melalui keputusan-keputusan sidang gerejawi, pertemuan yang eksistensial dengan "firman" tetapi yang tidak bisa dipahami maksudnya, atau dengan cara-cara lain. Tapi tak satupun pendekatan itu dapat dikatakan berhasil. Lalu apa yang salah? Apakah sebenarnya sumber otoritas bagi orang Kristen?
Jawaban klasik orang-orang Protestan adalah: sumber otoritas itu tidak lain Firman Allah yang diwahyukan, yaitu Alkitab. Alkitab berotoritas sebab bukan perkataan manusia, walaupun manusia adalah saluran sehingga Alkitab dapat sampai kepada kita. Sesungguhnya Alkitab "dinafaskan oleh Allah". Alkitab adalah hasil buatan Allah. Tetapi mungkin timbul juga pertanyaan lain mengenai otoritas. Pertanyaan ini berkaitan dengan cara kita menyadari otoritas Alkitab. Bagaimana kita bisa mengerti sesungguh-sungguhnya bahwa Alkitab adalah Firman Tuhan?
Aspek manusiawi dari pertanyaan mengenai otoritas, membawa kita sedikit lebih jauh kepada pengertian bahwa Alkitab adalah Firman Tuhan. Sebab arti sepenuhnya dari perkataan itu bukan sekadar menunjukkan bahwa Tuhan telah memberikan Alkitab, tetapi juga bahwa Alkitab terus menerus berbicara melalui Alkitab kepada manusia secara pribadi. Dengan kata lain, jika setiap orang secara pribadi mempelajari Alkitab, Allah berbicara kepada mereka melalui usaha mereka untuk mempelajarinya. Allah mengubah diri mereka melalui kebenaran yang mereka dapatkan. Inilah pertemuan secara langsung dari orang percaya secara individual dengan Tuhan. Luther mengungkapkan hal ini dengan kalimat: "Hati nuraniku telah ditawan oleh Firman Tuhan." Demikian juga yang dimaksud oleh Calvin dengan perkataan: "Sesungguhnya Alkitab membuktikan dirinya sendiri otentik".
Hanya pengalaman secara langsung sajalah yang akan menyakinkan orang bahwa kata-kata dalam Alkitab adalah Firman Tuhan yang otentik dan otoritatif. Calvin berkata, "Jadi, Roh yang sama yang telah berbicara melalui mulut para nabi sekarang menembus ke dalam hati kita untuk mengatakan kepada kita bahwa para nabi itu telah dengan setia mengatakan apa yang diperintahkan oleh Tuhan."
Alkitab lebih dari sekadar sesuatu kebenaran yang diungkapkan, suatu kumpulan kitab-kitab yang secara lisan diinspirasikan oleh Tuhan. Alkitab adalah suara Allah yang hidup. Allah yang hidup berbicara melalui halaman demi halaman Alkitab. Jadi Alkitab tidak boleh dinilai sebagai sebuah obyek sakral untuk diletakkan di atas rak buku lalu diabaikan begitu saja. Alkitab adalah dasar yang kudus, di mana hati dan pikiran manusia bisa mencapai satu titik temu yang penting dengan Allah yang hidup, yang penuh kasih dan memperhatikan manusia. Kalau kita mau memiliki perspektif yang sesuai dan pemahaman yang dapat disandari mengenai wahyu maka kita harus terus menerus memahami ketiga hal berikut: "Firman yang berotoritas dan tidak mungkin salah, tindakan Roh Kudus yang membuat kita mengerti dan menerima Firman itu dan hati yang mau menerima." Tidak mungkin kita memiliki pengetahuan yang benar tentang Allah tanpa ketiga hal itu.
Pandangan Reformasi
Jaminan bahwa Allah telah berbicara kepada para Reformator secara langsung melalui Firman-Nya memberikan suatu kebulatan di hati para Reformator. Secara teologis, pembentukan kebenaran pada dasarnya adalah sebuah elemen yang baru dalam Reformasi.
Pekik peperangan Reformasi adalah Sola Scriptura. Hanya Firman saja. Tetapi bagi para Reformator Sola Scriptura memiliki arti lebih dari sekadar bahwa Allah telah menyatakan diri-Nya dalam perkataan Alkitab. Elemen yang baru itu bukan berarti bahwa Alkitab, yang sesungguhnya diberikan oleh Tuhan, berbicara dengan otoritas Tuhan sendiri. Gereja Roma Katolik maupun para Reformator memiliki pendapat yang sama tentang hal itu. Elemen yang baru itu, sebagaimana juga diungkapkan oleh Packer adalah kepercayaan dalam diri Reformator melalui pengalaman mereka mempelajari Alkitab, bahwa Alkitab dapat dan memang sesungguhnya menafsirkan dirinya sendiri dalam hati orang beriman. Alkitab adalah penafsir bagi Alkitab sendiri, Scriptura sui ipsius interpres, sebagaimana dikemukakan oleh Luther. Jadi, kita tidak perlu Paus atau konsili untuk memberitahu apa arti perkataan Alkitab. Hal ini dapat berarti menantang pernyataan kepausan atau pernyataan konsili dan menunjukkan bahwa mereka tidak benar dan menuntut orang beriman untuk tidak menuruti mereka. Alkitab adalah satu-satunya sumber di mana orang berdosa bisa mendapatkan pengetahuan yang benar tentang Allah dan kebaikan. Alkitab juga merupakan satu-satunya hakim Gereja segala zaman demi nama Tuhan.
Dalam zaman Luther, Roma Katolik telah melemahkan otoritas Alkitab dengan cara meninggikan tradisi, sampai setara dengan Alkitab. Mereka juga menekankan bahwa ajaran Alkitab dapat disampaikan kepada orang Kristen hanya melalui perantaraan Paus, konsili, dan para imam. Para Reformator mengembalikan otoritas Alkitab dengan menyatakan bahwa Allah yang hidup berbicara langsung kepada umat-Nya dengan penuh otoritas melalui setiap halaman Alkitab.
Para Reformator menyebut tindakan Allah yang melahirkan Firman dalam pikiran dan hati nurani umat-Nya, sebagai kesaksian batiniah dari Roh Kudus. Mereka menekankan bahwa tindakan seperti itu adalah pertemuan obyektif atau eksternal, berdasarkan ayat-ayat dalam Yoh 3:8; 1Yoh 2:20,27; 1Yoh 5:7. Pengertian yang sama juga diungkapkan Paulus dalam 1Kor 2:12-15 dan Ef 1:16-20. Jika kita melihat ayat-ayat di atas secara keseluruhan, maka semuanya mengajarkan kita tentang kelahiran baru, pertumbuhan kebijaksanaan rohani dan pengetahuan tentang Allah. Itu adalah hasil karya Roh Allah atas hidup kita melalui Alkitab. Tidak ada pengertian spiritual yang mungkin terlepas dari tindakan Roh Kudus ini. Jadi kesaksian Roh Kudus adalah alasan yang paling masuk akal mengapa Alkitab diterima sebagai otoritas tertinggi dalam semua persoalan iman dan tindakan dari setiap anak Tuhan.
Kitab Yang Memahami Saya
Jika kita membaca Alkitab dan Roh Kudus berbicara kepada kita, maka ada berbagai hal yang terjadi. Pertama, pembacaan itu mempengaruhi kita dengan sangat berbeda dari semua pembacaan buku-buku lain yang pernah dilakukan.
Dr. Emilie Cailliet adalah seorang ahli filsafat dari Perancis yang kemudian menetap di Amerika dan menjadi profesor di Princeton Theological Seminary. Ia dibesarkan dengan suatu pendidikan naturalistik. Ia tak pernah mengindahkan hal-hal yang bersifat spiritual. Ia tak pernah membaca Alkitab. Ketika Perang Dunia I meletus ia melihat keadaan sekelilingnya dan merasa tidak puas dengan pandangan dan sikap hidupnya. Ia mengajukan sebuah pertanyaan kepada diri sendiri seperti pertanyaan yang diungkapkan oleh Levin, tokoh fiksi karya Leo Tolstoy dalam buku Anna Karenina. Bunyi pertanyaan itu: "Darimanakah asal hidup? Jika hidup itu berarti, apa arti yang sesungguhnya? Apa arti semua teori ilmu pengetahuan dalam kenyataan yang sesungguhnya?" Belakangan Cailliet menulis, "Seperti Levin, saya juga merasa bukan oleh pikiran saya tetapi oleh keseluruhan keberadaan saya, bahwa saya ditentukan untuk binasa secara tragis, jika waktunya sampai."
Setelah terjaga sepanjang malam, Cailliet mulai merindukan apa yang disebutnya sebuah buku yang dapat memahami diri saya. Ia adalah orang terpelajar, tetapi ia tidak pernah mengenal ada buku yang seperti itu sebelumnya. Ketika kemudian ia terluka dan dibebastugaskan dari kesatuan militer dan kembali ke tempatnya mengajar, Cailliet berketetapan untuk menyiapkan sebuah buku seperti yang ia maksudkan itu bagi dirinya sendiri secara rahasia. Ketika membaca buku, ia mencatat kalimat-kalimat yang nampaknya berguna bagi dirinya. Kemudian ia mencatat semua kalimat itu sekali lagi dalam sebuah buku bersampul kulit. Ia menandai semua kata penting yang diharapkan bisa melepaskan dirinya dari segala kekuatiran.
Akhirnya tibalah saatnya ia menyelesaikan bukunya, sebuah buku yang akan memahami dirinya. Lalu Cailliet ke luar rumah dan duduk di bawah sebatang pohon dan mulai membaca kumpulan tulisannya itu. Tetapi bukannya satu kelegaan yang ia jumpai. Justru setiap kalimat yang sudah dikutipnya itu mengingatkannya tentang betapa berat usahanya mengumpulkan semua kalimat itu. Akhirnya ia tahu bahwa semua usahanya sia-sia, sebab buku itu dibuatnya sendiri. Buku itu tidak mempunyai kekuatan. Dengan kecewa ia simpan buku itu dalam sakunya.
Pada saat yang sama, istri Cailliet (yang tidak tahu menahu tentang usaha suaminya itu) pulang dengan sebuah cerita menarik. Ia baru pulang berjalan-jalan di desa Perancis mereka yang kecil dan secara tidak sengaja memasuki sebuah gereja Huguenot mungil. Sebelumnya ia tak pernah melihat gereja mungil itu, tetapi ia masuk juga dan minta sebuah Alkitab, walaupun ia sendiri tidak sadar apa perlunya ia minta Alkitab. Sampai di rumah ia minta maaf pada suaminya karena membawa Alkitab pulang ke rumah, sebab ia tahu bahwa suaminya tidak suka pada kekristenan. Tetapi Cailliet tidak mempedulikan permintaan maaf istrinya dan menanyakan di mana Alkitab itu sekarang. Cailliet sadar bahwa ia tak pernah membaca Alkitab sebelumnya. Lalu dengan bergegas ia justru mulai membaca Alkitab itu. Berikut ini adalah kutipan dari perkataan Cailliet secara langsung:
Aku membukanya dan sampai pada Ucapan Bahagia dari Tuhan Yesus. Aku terus membacanya terus menerus, berulang-ulang dengan suara keras dan merasakan ada satu kehangatan yang merambat melaluinya...Aku tak dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan betapa aku kagum dan terpesona. Lalu tiba-tiba aku menyadari: Inilah buku yang dapat memahami diriku! Aku sangat membutuhkannya, tetapi aku tidak menyadari, bahkan dengan bodohnya aku berusaha menulis buku semacam ini sendiri. Aku terus membacanya makin jauh, terutama dari keempat Injil. Lalu aku melihat, bahwa Dia yang berbicara dan bertindak sungguh hidup bagiku. Pengalaman yang indah ini menandai permulaan pengertianku tentang doa, juga pengalaman itu mengajarkanku tentang kehadiran Tuhan, yang kemudian menjadi sesuatu yang sangat pokok dalam pemikiran teologisku.
Suasana providensial di dalam Buku itu telah menangkap aku dan walaupun tampaknya absurd untuk membicarakan tentang sebuah buku yang dapat memahami manusia, sesungguhnya Alkitab dapat memahami manusia. Sebab setiap halamannya dihidupkan oleh kehadiran Allah yang hidup dan kekuatan karya-Nya. Kepada Allah inilah aku berdoa malam itu, dan Allah yang menjawab adalah Allah yang sama yang dibicarakan dalam Buku itu.
Sepanjang sejarah umat Allah telah melihat apa yang diungkapkan dalam Reformasi. Inilah perkataan Calvin tentang kebenaran yang sama:
Kuasa yang khusus di dalam Alkitab jelas dapat kita lihat. Kalau kita bandingkan dengan tulisan-tulisan manusia yang lain, betapapun indah bahasa yang dipakainya tetap tidak ada tulisan lain yang dapat dibandingkan dengan Alkitab. Bacalah Demosthenes atau Cicero; bacalah Plato, Aristoteles, dan karya-karya filsuf lain yang sebudaya dengan mereka. Buku-buku itu memang akan memberikan keindahan kepada kita, menggetarkan hati, dan membuat kita terkenang. Tetapi jika kita beralih dari buku-buku itu dan membawa Kitab Suci, maka Kitab Suci ini akan mempengaruhi hidup kita, menembus ke dalam hati, kemudian mendiami seluruh sumsum tulang kita. Jika hendak dibandingkan sekali lagi, maka buku-buku karya para filsuf itu hampir akan ada artinya lagi. Jadi jelaslah bahwa Kitab Suci jauh melebihi segala kebaikan manusia, sebab Kitab Suci menghembuskan sesuatu yang bersifat Ilahi.
Contoh yang lain kita lihat di bagian akhir Injil Lukas. Tuhan Yesus baru bangkit dari kubur dan menampakkan diri kepada para murid-Nya. Kleopas dan seorang kawannya berjalan menuju ke Emaus dan berjumpa dengan Tuhan Yesus di tengah perjalanan. Mereka tidak mengenali-Nya. Ketika Tuhan Yesus bertanya mengapa mereka tampak sedih, mereka justru balik bertanya, apakah Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi di Yerusalem. Mereka menceritakan tentang Yesus yang mati, lalu pada hari pertama minggu itu para perempuan pergi ke kubur dan menjumpai kubur itu telah kosong Yesus, walaupun sesungguhnya kubur itu sendiri tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Mimpi mereka lenyap, dan dalam perkiraan mereka waktu itu Yesus telah mati, itulah sebabnya mereka pulang ke Emaus.
Tetapi Tuhan Yesus mulai berkata-kata kepada mereka, mengajarkan mereka Alkitab. Tuhan Yesus menyebut mereka orang-orang bodoh dan lamban untuk percaya perkataan para nabi. Tuhan Yesus menekankan kepada mereka bahwa Mesias memang harus mengalami penderitaan itu untuk masuk ke dalam kemuliaan. Tuhan Yesus mulai dengan pengajaran Musa dan seluruh pernyataan para nabi, kemudian Ia menjelaskan apa yang dikatakan Alkitab tentang diri-Nya sendiri.
Akhirnya mereka tiba di rumah mereka, dan Ia menyatakan diri kepada mereka ketika mereka makan bersama. Ia tiba-tiba menghilang. Segera kedua orang itu kembali ke Yerusalem untuk menceritakan kepada para murid yang lain. Mereka mengatakan, "Bukankah hati kita berkobar-kobar ketika Ia berbicara kepada kita di tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?" (Luk 24:32). Mereka disadarkan oleh Firman Tuhan. Dalam keadaan ini Tuhan Yesus sendiri menggenapi fungsi Roh Kudus dengan cara menerangkan arti Firman Tuhan kepada para murid-Nya dan dengan menerapkan kebenarannya kepada mereka.
Alkitab juga mengubah kita. Kita menjadi orang-orang yang berbeda sebagai hasil dari pertemuan dengan Alkitab. Satu bagian dari Roma 13 mengubah hidup Agustinus ketika ia membaca Alkitab di kebun rumah seorang kawannya di dekat Milan, Italia. Luther mengatakan pengalamannya dalam meditasi di Wartburg Castle dan ia dilahirkan lagi dan menyaksikan bagaimana Roma 1:17menjadi gerbang surgawi. Perenungan John Wesley terhadap Alkitab akhirnya membawa pertobatannya dalam sebuah pertemuan kecil di Aldersgate.
Kitab Yang Memahami Saya
Akibat lain dari membaca Alkitab adalah bahwa Roh Kudus yang berbicara melalui setiap halamannya akan membawa orang-orang menjadi murid Tuhan Yesus. Alkitab berisi berbagai macam pokok bahasan. Alkitab meliputi sejarah yang ratusan tahun panjangnya. Tetapi obyek dari Alkitab dalam segala bagiannya menunjuk kepada Kristus. Tuhan Yesus berkata bahwa jika Penghibur, yaitu Roh Kebenaran yang diutus-Nya dari Bapa itu datang, Ia akan menyaksikan tentang diri Tuhan Yesus (Yoh 15:26). Karena peranan Roh Kudus adalah menunjukkan tentang Tuhan Yesus di dalam Alkitab, maka kita bisa yakin bahwa kita sedang mendengarkan perkataan Roh Kudus jika kita mengalaminya.
Mungkin orang bertanya, bukankah seluruh isi Alkitab adalah sejarah? Bagaimana mungkin Yesus adalah subyek dari Perjanjian Lama? Dan bagaimana Roh Kudus dapat menunjukkan kita kepada-Nya? Tuhan Yesus menjadi subyek dalam Perjanjian Lama dengan dua cara:
- dengan menyesuaikan dengan tema utamanya dan
- dengan menggenapi apa yang nubuatan yang ada.
Satu tema utama dari Perjanjian Lama adalah dosa manusia dan perlunya penolong bagi manusia. Alkitab dimulai dengan kisah penciptaan. Tetapi kita juga dapati kisah kejatuhan manusia ke dalam dosa. Manusia bukannya sepenuhnya taat dan bersandar kepada Penciptanya, tetapi justru memberontak dan melawan Allah. Manusia lebih memilih jalannya sendiri daripada mengikuti jalan Tuhan. Jadi akibat dari dosa segera jatuh atas seluruh umat manusia.
Dalam Perjanjian Lama selanjutnya kita melihat seluruh konsekuensi dosa ini: pembunuhan atas diri Habel, kejahatan manusia pada zaman Nuh sampai terjadinya air bah, penyimpangan seksual, bahkan sampai kepada tragedi yang dialami Israel bangsa pilihan walaupun seharusnya Israel berhak memiliki berkat-berkat Tuhan secara penuh. Paling baik jika Perjanjian Lama disimpulkan dengan perkataan Daud dalam mazmur pengakuan dosanya. Mzm 51:1-5 boleh disebutkan sebagai pengakuan dosa dari seluruh umat manusia.
Kita memiliki satu doktrin Alkitab yang penting. Kalau kita dapat mengertinya dengan benar maka doktrin ini tidak akan berakhir dalam dirinya sendiri. Kebenaran tentang dosa dan kebutuhan kita diungkapkan dalam Alkitab sebab Alkitab juga mampu menunjukkan bahwa Kristus mampu menjawab semua persoalan. Tema kedua dari Perjanjian Lama adalah eksistensi Allah yang bertindak dalam kasih-Nya untuk menebus orang berdosa. Allah Bapa melakukan ini di dalam seluruh Perjanjian Lama. Pada saat yang sama, ketika Allah melakukannya, Ia juga menunjuk kepada kedatangan Putra-Nya yang akan menebus manusia secara sempurna untuk selama-lamanya.
Ketika Adam dan Hawa berdosa, maka dosa itu memisahkan mereka dari Sang Pencipta. Mereka berusaha bersembunyi. Akan tetapi Allah datang pada mereka pada waktu hari sejuk, dan Allah memanggil mereka. Memang Allah berbicara dalam penghakiman, sebab memang Ia harus melakukannya. Ia mengungkapkan konsekuensi dari dosa mereka. Tetapi Allah membunuh seekor binatang dan memakaikan kulit binatang itu untuk menjadi pakaian manusia yang berdosa dan mulai mengajarkan jalan keselamatan melalui pencurahan darah. Lalu Allah berfirman tentang kedatangan Sang Juruselamat yang akan meremukkan kepada dari ular yang artinya akan mengalahkan kuasa iblis (Kej 3:15).
Pada sembilan pasal berikutnya kita jumpai suatu rujukan lain di mana benih perempuan itu akan menghancurkan kepala ular. Allah pertama kali memberikan janji kepada Abraham dengan menekankan bahwa oleh keturunan Abraham segala bangsa di muka bumi akan mendapat berkat (Kej 12:3; 22:18). Berkat yang dijanjikan ini tentulah bukan sebuah berkat yang mengalir dari diri Abraham secara pribadi. Berkat yang dijanjikan ini akan datang melalui keturunan Abraham, yaitu benih yang dijanjikan, Sang Mesias.
Lalu beratus-ratus tahun berikutnya yang mengerti betul ayat ini menunjukkan bahwa:
Lalu beratus-ratus tahun berikutnya yang mengerti betul ayat ini menunjukkan bahwa:
- benih itu adalah Tuhan Yesus;
- janji yang diberikan kepada Abraham adalah satu berkat melalui Dia; dan
- berkat itu sampai kepada manusia melalui karya Kristus yang menebus (
Gal 3:13-16 ).
Menjelang kematiannya Yakub berkata bahwa tongkat kerajaan tak akan pernah pergi dari Yehuda (Kej 49:10). Musa juga berkata tentang Dia yang akan datang (Ul 18:15). Kitab Mazmur berisi banyak nubuatan besar. Mzm 2 menceritakan tentang Kristus yang memperoleh kemenangan dan berkuasa atas bangsa-bangsa di bumi. Mazmur ini sangat disukai orang-orang Kristen abad mula-mula (Lihat Kis 4). Mzm 16 menubuatkan kebangkitan Kristus (ayat 10; lihat Kis 2:31). Dalam Mzm 22; 23; 24 kita mendapatkan gambaran tentang Tuhan Yesus: Juruselamat yang menderita, Gembala yang baik dan Raja. Mazmur-mazmur yang lain membicarakan aspek lain tentang pelayanan dan kehidupan Kristus. Mzm 110 kembali pada tema mengenai pemerintahan-Nya, yaitu hari ketika Yesus duduk di sebelah kanan Allah Bapa, dan menjadikan musuh-musuh-Nya sebagai tumpuan kaki-Nya. Rincian tentang kehidupan, kematian, dan kebangkitan Kristus dapat kita jumpai dalam kitab para nabi: Yesaya, Daniel, Yeremia, Yehezkiel, Hosea, Zakharia, dan yang lainnya.
Tuhan Yesus Kristus dan karya-Nya adalah subyek dari Alkitab. Roh Kuduslah yang mengungkapkan semuanya tentang Dia. Pada saat wahyu dalam Alkitab dipahami maka Alkitab memberi kesaksian tentang dirinya sendiri dan otoritas serta kuasa dari Allah yang hidup dapat dirasakan dalam setiap lembar halamannya.
Artikel ini diambil dari :
Majalah MOMENTUM no. 15, Maret 1992. Oleh James Montgomery Boice
Majalah MOMENTUM no. 15, Maret 1992. Oleh James Montgomery Boice
Pandangan Gereja Katolik
I. Perkenalan dengan Kitab Suci
Orang mengatakan bahwa tak kenal maka tak sayang. Maka agar kita dapat mengasihi Tuhan, kita perlu mengenal Dia. Sekarang pertanyaannya, bagaimana caranya kita mengenal Allah? Agaknya Tuhan memahami bahwa manusia akan mempunyai pertanyaan semacam ini dalam hatinya, sehingga Allah-lah yang pertama- tama melakukan inisiatif: Ia mewahyukan Diri-Nya, melalui alam semesta, melalui suara hati nurani dan yang secara khusus, melalui Wahyu umum yang diberikan kepada Gereja.
1. Apakah Kitab Suci itu?
Kita sering mendengar bahwa Kitab Suci adalah “Wahyu Allah”. Wahyu atau pernyataan Allah tentang diri-Nya ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej 1: 26). Artinya kita adalah mahluk rohani yang diciptakan menurut gambaran Allah, yang dilengkapi oleh akal budi dan kehendak bebas, sehingga kita dapat mengetahui, memilih dan mengasihi. Dengan demikian, kita manusia dapat menyimpulkan bahwa Tuhan Sang Pencipta itu ada, dengan melihat segala ciptaan-Nya yang ada di sekitar kita. Keberadaan Tuhan juga diketahui dengan memperhatikan suara hati nurani dalam setiap orang, di mana Tuhan menuliskan hukum-hukum-Nya untuk menyatakan hal yang benar dan yang salah; inilah wahyu yang universal. Selanjutnya, Tuhan juga secara khusus memberikan wahyu yang merupakan pernyataan akan diri-Nya dan kehendak-Nya bagi manusia untuk mencapai tujuan akhir yang direncanakan-Nya. Wahyu ini disampaikan kepada manusia sejak awal sejarah manusia sampai sekarang; yaitu melalui para nabi, yang mencapai puncaknya di dalam Yesus Kristus Putera-Nya, dan wahyu ini yang kemudian dilanjutkan oleh para rasul Kristus.
Wahyu umum ini adalah wahyu Allah yang khusus diberikan kepada umat manusia agar manusia dapat mengenal siapa diri-Nya dan rencana-Nya untuk menyelamatkan manusia. Wahyu umum ini bermula dari wahyu yang diberikan kepada para nabi, dan berakhir dengan wafatnya rasul Kristus yang terakhir. ((Tradisi Gereja mengajarkan bahwa wahyu umum berakhir dengan Kristus dan para rasulNya, maka sesudah itu tidak akan ada lagi pernyataan wahyu umum. Maka Paus Pius X mengecam mereka yang berpendapat bahwa akan ada lagi wahyu yang baru “New Revelations”, ataupun pendapat bahwa wahyu tersebut tidak berakhir dengan para rasul. (H. Denzinger 2021). KGK 66 mengutip Dei Verbum 4, mengatakan, “Tata penyelamatan Kristen sebagai suatu perjanjian yang baru dan definitif tidak pernah akan lenyap, dan tidak perlu diharapkan suatu wahyu umum baru, sebelum kedatangan yang jaya Tuhan kita Yesus Kristus.” Namun KGK 67 melanjutkan, bahwa dalam peredaran waktu, terdapat apa yang disebut sebagai “wahyu pribadi”, yang beberapa diantaranya diakui oleh Gereja, namun tidak termasuk dalam perbendaharaan iman, sebab fungsinya bukan untuk menyempurnakan wahyu Kristus, tetapi untuk membantu umat beriman untuk menghayatinya lebih dalam lagi.)) Wahyu umum ini terdiri dari dua jenis, yang tergantung dari cara penyampaiannya; yaitu Kitab Suci (tertulis) dan Tradisi Suci (lisan). ((Wahyu umum yang tertera di Kitab Injil disampaikan dengan dua cara, seperti yang dikatakan dalam KGK 76: Sesuai dengan kehendak Allah terjadilah pengalihan Injil atas dua cara:
Secara lisan “oleh para Rasul, yang dalam pewartaan lisan, dengan teladan serta penetapan-penetapan meneruskan entah apa yang mereka terima dari mulut, pergaulan dan karya Kristus sendiri, entah apa yang atas dorongan Roh Kudus telah mereka pelajari.
Secara tertulis “oleh para Rasul dan tokoh-tokoh rasuli, yang atas ilham Roh Kudus itu juga telah membukukan amanat keselamatan.”)) Maka kita ketahui ketiga hal ini:
1. Kitab Suci adalah Wahyu ilahi yang disampaikan secara tertulis di bawah inspirasi Roh Kudus. ((Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum 9, “Sebab Kitab suci itu pembicaraan Allah sejauh itu termaktub dengan ilham Roh ilahi.” Inilah definisi dari Kitab Suci)).
2. Tradisi Suci adalah Wahyu ilahi yang tidak tertulis, namun yang diturunkan oleh para rasul sejak awal oleh inspirasi Roh Kudus, sesuai dengan yang mereka terima dari Yesus dan yang kemudian diturunkan kepada para penerus mereka. ((Dei Verbum 9, “….Oleh Tradisi Suci sabda Allah, yang oleh Kristus Tuhan dan Roh Kudus dipercayakan kepada para Rasul, disalurkan seutuhnya kepada para pengganti mereka, supaya mereka ini dalam terang Roh kebenaran dengan pewartaan mereka memelihara, menjelaskan dan menyebarkannya dengan setia.”
Baik Kitab Suci maupun Tradisi Suci berasal dari sumber yang sama, sehingga harus dihormati dengan penghormatan yang sama.))
Baik Kitab Suci maupun Tradisi Suci berasal dari sumber yang sama, sehingga harus dihormati dengan penghormatan yang sama.))
3. Maka kita ketahui sekarang bahwa untuk menerima wahyu Allah secara lengkap, kita tidak hanya perlu Kitab Suci, namun juga Tradisi Suci, dan pihak wewenang mengajar Gereja (Magisterium) yang dapat secara benar mengartikan wahyu ilahi tersebut. Ketiga hal ini disebut sebagai pilar iman, yang ditujukan untuk menjaga dan mengartikan wahyu publik dari Allah ini di dalam kemurniannya.
2. Kitab Suci yang adalah Sabda Allah itu terdiri atas Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
Pernahkah anda membaca novel, namun hanya membaca bagian akhirnya saja? Walaupun mungkin anda dapat menangkap bagian yang terpenting dari kisah tersebut, namun tentu, kisah tersebut akan lebih dapat dipahami, jika anda membaca buku tersebut mulai dari bagian awal. Demikianlah halnya dengan Kitab Suci yang merupakan Sabda Allah yang tertulis tentang rencana keselamatan Allah yang dimulai sejak awal mula penciptaan dunia, sampai penggenapannya di dalam diri Kristus.
Oleh karena itu, untuk mempelajari Kitab Suci, kita perlu melihat kaitan antara Perjanjian Lama (sebelum kedatangan Kristus) dan Perjanjian Baru (saat dan setelah kedatangan Kristus), dan antara ayat yang satu dengan ayat yang lainnya, untuk mendapat pengertian yang menyeluruh dan pemahaman yang benar akan Sabda Allah itu. Perjanjian Lama (PL) yang melatar-belakangi Perjanjian Baru (PB), merupakan satu kesatuan dengan Perjanjian Baru. Sebab “Perjanjian Baru terselubung dalam Perjanjian Lama, sedangkan Perjanjian Lama tersingkap dalam Perjanjian Baru.” ((Katekismus Gereja Katolik, 129; lih. Verbum Domini, 40-41)). Sama seperti suatu kisah tidak akan lengkap jika hanya dibaca awalnya saja, atau akhirnya saja, tanpa memperhatikan kaitannya, demikian juga Kitab Suci hanya akan dapat kita pahami secara menyeluruh dalam kesatuan antara PL dan PB, dan dalam kaitan satu ayat dengan ayat yang lain.
3. Penulisan Kitab Suci melibatkan akal budi para penulisnya
Kitab Suci merupakan Sabda Allah yang disampaikan melalui tulisan penulis kitab yang ditunjuk oleh Allah untuk menuliskan hanya yang diinginkan oleh Tuhan. ((lih. Katekismus Gereja Katolik (KGK), 106)). Namun demikian, ini melibatkan juga kemampuan sang penulis tersebut dalam hal gaya bahasa, cara penyusunan, latar belakang budayanya, dst. Maka jika kita ingin memahami Kitab Suci, kita perlu mengetahui makna yang disampaikan oleh para pengarang kitab dan apakah yang ingin disampaikan oleh Allah melalui tulisannya. Karena Kitab Suci bersumber pada Allah yang satu, maka kita harus melihat keseluruhan Kitab Suci, walaupun ditulis oleh orang yang berbeda- beda, sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi. Inilah yang menjadi dasar bagaimana kita memperoleh pengertian yang mendalam tentang Kitab Suci, dan dengan cara demikianlah jemaat awal mengartikan Kitab Suci.
4. Kitab Suci itu diberikan kepada Gereja sebagai pedoman
Rasul Paulus memberikan alasan kepada kita untuk mempelajari Kitab Suci yaitu, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” (2 Tim 3:16) agar kita yang menjadi umat-Nya diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik. Dengan demikian, Kitab Suci mendapatkan tempat yang begitu tinggi di dalam Gereja Katolik, yang dapat kita lihat dari dokumen-dokumen Gereja yang senantiasa mempunyai sumber dari Kitab Suci disamping Tradisi Suci, dan kita dapat melihat secara jelas dalam liturgi Gereja. Paus Benediktus XVI dalam pengajaran apostoliknya, Verbum Domini, mengajarkan bahwa Kitab Suci mendapatkan tempat di dalam sakramen-sakramen, liturgi, brevier, buku-buku doa dan pemberkatan, lagu-lagu, dll. ((lih. Verbum Domini, 52- 71))
II. Prinsip umum yang harus dipegang
1. Gereja ada terlebih dahulu sebelum Kitab Suci.
Jika kita mempelajari sejarah Gereja, kita akan mengetahui bahwa Tradisi Suci, yaitu pengajaran iman Kristiani yang berasal dari pengajaran lisan Kristus dan para rasul itu sudah ada terlebih dahulu daripada pengajaran yang tertulis. Demikian pula, Gereja sudah ada terlebih dahulu sebelum keberadaan kitab-kitab Perjanjian Baru. Yesus tidak membentuk Kitab Suci, namun Yesus membentuk Gereja, yang Ia dirikan di atas Rasul Petrus (lih. Mat 16:18). Gereja pulalah yang menentukan kanon seluruh Kitab Suci, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Para pengarang/ penulis suci dari kitab-kitab Perjanjian Baru adalah para anggota Gereja yang diilhami oleh Tuhan, sama seperti para penulis suci yang menuliskan kitab-kitab Perjanjian Lama.
2. Kitab Suci memberitahukan kepada kita pentingnya Tradisi Suci, yaitu pengajaran lisan para rasul, sebab tidak semua ajaran Kristus terekam dalam Kitab Suci.
Jemaat mula-mula “bertekun dalam pengajaran rasul-rasul… ” (Kis 2:42, lih. 2 Tim 1:14), dan ini sudah terjadi sebelum kitab Perjanjian Baru ditulis, berabad – abad sebelum kanon Perjanjian Baru ditetapkan di akhir abad ke 4. Kitab Suci juga mengatakan bahwa pengajaran para rasul disampaikan secara lisan, “Apa yang telah engkau dengar dari padaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai, yang juga cakap mengajar orang lain.” (2 Tim 2:2); dan bahwa pengajaran para rasul tersebut disampaikan “baik secara lisan, maupun secara tertulis.” (2 Tes 2:15; lihat juga bahwa ‘ajaran yang diteruskan/ diberitakan melalui pembicaraan’ oleh para rasul inilah Tradisi suci -1 Kor 11:2, 23; 2 Yoh 12, 3 Yoh 13)
“Masih banyak hal-hal lain lagi yang diperbuat oleh Yesus, tetapi jikalau semuanya itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu.” (Yoh 21:25). Kitab Perjanjian Baru sendiri mengacu kepada Tradisi suci, yaitu pada saat mengutip perkataan Yesus yang tidak terekam pada Injil, yaitu pada Kis 20:35, di mana rasul Paulus meneruskan perkataan Yesus “Adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima”; yaitu perkataan Yesus yang tidak tertulis dalam Injil.
3. Kitab Suci sendiri mengatakan bahwa Kitab Suci memerlukan pihak yang mempunyai otoritas untuk menginterpretasikannya
Rasul Petrus mengatakan bahwa ada hal-hal di dalam Kitab Suci yang memang sulit untuk dicerna (lih. Kis 8:30-31; 2 Pet 1:20-21; 2 Pet 3:15-16), dan ketidakhati-hatian dalam penafsiran akan mendatangkan kesalahan yang fatal. Berapa banyak kita mendengar dari agama lain, yang menggunakan Kitab Suci untuk menyanggah kebenaran iman Kristen, seperti tentang ajaran Tritunggal Maha Kudus, ataupun bahwa Yesus adalah sungguh- sungguh Tuhan.
4. Kristus memberikan otoritas kepada Gereja yang dimulai dari para rasul-Nya untuk mengajar dalam nama-Nya.
Gereja akan bertahan sampai pada akhir jaman, dan Kristus oleh kuasa Roh Kudus akan menjaganya dari kesesatan (lih. Mat 16:18; 18:18; 28:19-20; Luk 10:16; Yoh 14:16). Karena itu, Kristus memberikan kuasa wewenang mengajar kepada Magisterium Gereja yang terdiri dari para rasul dan para penerusnya. Magisterium/ Wewenang mengajar ini hanya ada untuk melayani Sabda Allah, sehingga ia tidak berada di atas Kitab Suci maupun Tradisi Suci, namun melayani keduanya. Prinsip fungsi Magisterium ini hanya seperti wasit dalam pertandingan sepak bola: ia tidak mengatasi peraturan, namun hanya menjaga agar peraturan dijalankan semestinya.
Hal yang sama ditegaskan oleh Paus Benediktus XVI dalam pengajaran Apostoliknya, Verbum Domini. Paus menegaskan bahwa apa yang tertulis di dalam Kitab Suci bukanlah sesuatu yang dapat diinterpretasikan oleh masing-masing individu dengan bebas tanpa melihat apa yang menjadi pandangan Gereja. Karena Sabda Allah yang bersumber pada Roh Kudus diberikan kepada Gereja. Oleh Roh Kudus menjadi jiwa dari Gereja, Gereja menentukan buku-buku yang masuk ke dalam kanon Kitab Suci. Dengan demikian, Gereja mempunyai otoritas untuk menginterpretasikan Kitab Suci sesuai dengan maksud yang ingin disampaikan oleh Roh Kudus. ((lih. Verbum Domini, 29-30)) Hal yang sama juga ditegaskan oleh St. Agustinus yang mengatakan “I would not believe the Gospel, had not the authority of the Catholic Church led me to do so” (((Against the Letter of Mani Called ‘The Foundation’ 5:6))
Jika kita melihat sejarah, maka kita dapat melihat bahwa Kitab Suci yang ada pada kita sekarang terbentuk pertama kali menurut kanon yang ditetapkan oleh Paus Damasus pada tahun 382, Konsili Hippo (393), Carthago (397) dan Kalsedon/ Chalcedon (451) yang kemudian diteguhkan oleh banyak konsili sampai Konsili Trente (1545- 1563). Maka Gerejalah, atas ilham Roh Kudus, yang menentukan kitab- kitab mana saja yang diinspirasikan oleh Roh Kudus, sehingga dapat termasuk dalam Kitab Suci. Sebelum Kitab Suci ditulis, Gereja mengandalkan Tradisi Suci, yaitu pengajaran lisan para rasul. Ini adalah bukti penerapan ayat 1 Tim 3:15, yaitu bahwa Gereja-lah (bukan Kitab Suci) yang menjadi tiang penopang dan tonggak kebenaran. Jadi mengatakan bahwa Kitab Suci saja “cukup” atau “hanya satu-satunya” sebagai pedoman iman, itu tidaklah benar, sebab asal mula Kitab Suci itu sendiri melibatkan Tradisi Suci dan Gereja, yang dipimpin oleh Magisterium.
5. Kitab Suci mengacu kepada Tradisi Suci untuk menyelesaikan masalah di dalam jemaat
Saat terjadinya krisis dalam jemaat di sekitar tahun 40-an, kitab Perjanjian Baru belum ada, dan Kristus sendiri tidak pernah mengajarkan secara eksplisit tentang sunat. Namun atas inspirasi Roh Kudus, atas kesaksian Rasul Petrus, maka Konsili Yerusalem menetapkan bahwa sunat tidak lagi diperlukan bagi para pengikut Kristus (Kis 15). Konsili inilah yang menginterpretasikan kembali Kitab Suci Perjanjian Lama yang mengharuskan sunat (lih. Kej 17, Kel 12:48) dengan terang Roh Kudus dan penggenapannya oleh Kristus dalam Perjanjian Baru, sehingga ketentuan sunat tidak lagi diberlakukan. Di dalam Konsili itu, Magisterium Gereja: para rasul dan penerusnya, dan pemimpin Gereja lainnya berkumpul untuk memeriksa Sabda Tuhan, yang tertulis atau yang tidak, dan membuat suatu pengajaran apostolik sesuai dengan ajaran Kristus.
6. Maka di sini terlihat bahwa Gereja/ jemaat (bukan Kitab Suci saja) adalah “tiang penopang dan dasar kebenaran.” (1 Tim 3:15)
Kristus mendirikan Gereja, dan bukannya menulis Kitab Suci, tentu juga ada maksudnya, bahwa Gereja-lah yang dipercaya oleh Kristus untuk mengajar dan menafsirkan semua firman-Nya.
7. Kitab Suci tidak mengatakan bahwa Kitab Suci adalah satu-satunya sumber Sabda/ Firman Tuhan.
Kristus itu sendiri adalah Firman Allah (lih. Yoh 1:1, 14) dan dalam 1 Tes 2:13 Rasul Paulus mengatakan bahwa ia telah menyampaikan pemberitaan Firman Allah (“when you received the Word of God which you heard from us“- RSV) dan pemberitaan Firman Allah (melalui pendengaran) yang disampaikan oleh para rasul adalah Tradisi Suci.
III. Prinsip untuk menginterpretasikan Kitab Suci
1. Cara umum:
Konsili Vatikan II mengajarkan tiga cara umum untuk menafsirkan Kitab Suci sesuai dengan Roh Kudus yang mengilhaminya: ((lihat Katekismus Gereja Katolik KGK 112-114))
1. Memperhatikan isi dan kesatuan seluruh Kitab Suci.
2. Membaca Kitab Suci dalam terang tradisi hidup seluruh Gereja.
3. Memperhatikan “analogi iman”.
a. Memperhatikan isi dan kesatuan seluruh Kitab Suci
Kita harus mengartikan ayat tertentu dalam Kitab Suci dalam kaitannya dengan pesan Kitab Suci secara keseluruhan. Mengartikan satu paragraf atau bahkan satu kalimat saja namun tidak memperhatikan kaitannya dengan ayat yang lain, dapat berakibat fatal. Contohnya, seorang atheis mengutip Mzm 14:1, dan berkata “Tidak ada Allah”. Tetapi sebenarnya, keseluruhan kalimat itu berkata, “Orang bebal berkata dalam hatinya: “Tidak ada Allah”. Maka arti yang disampaikan dalam Kitab Suci tentu sangat berbeda dengan pengertian orang atheis tersebut.
b. Membaca Kitab Suci dalam terang Tradisi hidup seluruh Gereja
Banyak ahli Kitab Suci di jaman modern yang tidak mengindahkan interpretasi yang berakar dari tradisi Gereja. Mereka berpikir seolah-olah baru pada saat mereka menginterpretasikan Kitab Suci, Roh Kudus memberikan pengertian yang paling “asli”, sedang interpretasi pada abad- abad yang lalu itu keliru. Sikap ini tentunya tidak mencerminkan kerendahan hati. Gereja mengajarkan bahwa kita harus menginterpretasikan Kitab Suci sesuai dengan Tradisi hidup seluruh Gereja, sebab “Kitab suci lebih dulu ditulis di dalam hati Gereja daripada di atas pergamen (kertas dari kulit)”. ((KGK 113, Dei Verbum 16)) Di dalam Tradisi Suci inilah Roh Kudus menyatakan kenangan yang hidup tentang Sabda Allah dan interpretasi spiritual dari Kitab Suci. Tradisi Suci tercermin dari tulisan Para Bapa Gereja, dan ajaran- ajaran definitif yang ditetapkan oleh Magisterium, seperti yang dihasilkan dalam Konsili-konsili, Bapa Paus maupun yang dijabarkan dalam doktrin Gereja.
c. Memperhatikan “analogi iman”
Analogi iman maksudnya adalah bahwa wahyu Allah berisi kebenaran- kebenaran yang konsisten dan tidak bertentangan satu sama lain. Gereja Katolik percaya bahwa Roh Kudus yang meng-inspirasikan Kitab Suci adalah Roh Kudus yang sama, yang membimbing dan menjaga wewenang mengajar Gereja (Magisterium), yang juga bekerja dalam Tradisi Suci Gereja. Maka tidak mungkin ajaran Gereja Katolik bertentangan dengan Kitab Suci, karena Roh Kudus tidak mungkin bertentangan dengan diri-Nya sendiri. Juga, karena Gereja menjaga kemurnian ajaran dalam Kitab Suci, maka untuk meng-interpretasikan Kitab Suci, kita harus melihat kaitannya dengan ajaran/ doktrin Gereja.
Analogi iman yang berdasarkan ajaran Gereja berperan sebagai “penjaga” yang membantu kita agar kita tidak sampai salah jalan dalam meng-interpretasikan Kitab Suci. Ibaratnya, seperti pagar yang membatasi rumah kita dengan dunia luar yang penuh dengan anjing galak. Di dalam halaman rumah, kita tetap dapat beraktivitas, anak-anak dapat bermain dengan bebas, namun aman dari bahaya. Maka dengan berpegang pada ajaran Gereja, kita tetap mempunyai kebebasan dalam menginterpretasikan ayat-ayat Kitab Suci, namun kita dapat yakin bahwa interpretasi kita tidak salah, ataupun tidak bertentangan dengan kebenaran yang diwahyukan. Keyakinan ini merupakan karunia yang diberikan kepada kita, jika kita setia berpegang pada pengajaran Gereja yang disampaikan oleh Magisterium (Wewenang mengajar Gereja). Magisterium inilah yang bertugas menginterpretasikan Sabda Allah dengan otentik, baik yang tertulis (Kitab Suci) maupun yang lisan (Tradisi Suci), dengan wewenang yang dilakukan dalam nama Tuhan Yesus ((Lihat Dei Verbum 10.)) agar Sabda itu dapat diteruskan sesuai dengan yang diterima oleh para rasul.
2. Menghindari dualisme hermenetik sekular/ ‘secularized hermeneutic’ dan interpretasi fundamentalis/“fundamentalist interpretation”
Paus Benediktus XVI dalam ekshortasi apostoliknya, Verbum Domini menekankan dua kesalahan ekstrem yang tidak boleh dilakukan oleh umat Katolik dalam menginterpretasikan Kitab Suci. Dua kesalahan ini adalah hanya berdasarkan metoda sekular dan metoda fundamentalisme.
a. Metoda historical-criticism yang terpisah dari teologi
Metode sekular yang terpisah dari teologi ini menekankan sisi sejarah dari Kitab Suci, sehingga Kitab Suci hanya dilihat sebagai buku dari masa lampau yang tidak mempunyai kaitan dengan saat ini. Pendekatan yang ilmiah dengan mengesampingkan sisi-sisi Ilahi dari Kitab Suci membuat metode ini kehilangan apa yang menjadi dasar untuk mengerti Kitab Suci – yaitu iman – yang pada akhirnya menolak campur tangan Tuhan dalam sejarah manusia. ((Verbum Domini, 35)) Inilah sebabnya, Paus Yohanes Paulus II – dalam ensiklik Fides et Ratio – dan Paus Benediktus XVI menekankan harmoni antara iman dan akal budi. Menyandarkan metoda ilmiah dalam menginterpretasikan Kitab Suci tanpa dibarengi iman, mereduksi sisi Ilahi dari Kitab Suci menjadi buku sejarah atau hanya menjadi buku literatur biasa. Sebagai contoh: Ketika di Kitab Suci dikatakan bahwa Yesus memberi makan lima ribu orang (Mt 14:15-21; Mk 6:34-44), maka metoda ini cenderung untuk mereduksi sisi Ilahi dari Kristus dan kemudian menjelaskannya dengan sesuatu yang lebih ilmiah, seperti orang-orang yang ada berkumpul mengeluarkan bekal masing-masing dan kemudian saling berbagi.
b. Metode fundamentalisme
Metode fundamentalisme mengambil kata demi kata di Kitab Suci dan menganggap kata demi kata dalam Kitab Suci adalah didikte oleh Tuhan tanpa melihat bahwa penulisan Kitab Suci senantiasa di dalam konteks sejarah pada waktu tulisan tersebut dibuat. Penolakan akan sisi sejarah dan juga penolakan akan Gereja sebagai pemberi interpretasi Kitab Suci yang otentik membuat metode ini menjadi sangat subyektif ((lih. Verbum Domini, 44)) yang mengarah bahwa interpretasi pribadinya sendiri adalah yang paling benar. Metoda ini juga dapat menyebabkan kegagalan untuk melihat Sabda Allah dalam konteks keseluruhan. Sebagai contoh, ketika Yesus mengatakan “Tetapi tentang hari dan saat itu tidak seorangpun yang tahu, malaikat-malaikat di sorga tidak, dan Anakpun tidak, hanya Bapa sendiri.” (Mt 24:36), maka metoda ini mempunyai tendensi untuk mengatakan bahwa Yesus memang tidak mengetahui kapan akhir dunia terjadi, tanpa melihat kompleksitas dari kodrat Yesus yang sungguh Allah dan sungguh manusia. Karena mereka juga tidak mau melihat komentar Kitab Suci dari Bapa Gereja dan Magisterium Gereja, maka mereka akan mengeraskan hati bahwa interpretasi merekalah yang paling benar.
3. Ke-4 Prinsip menginterpretasikan Kitab Suci
Secara umum, Kitab Suci mempunyai dua macam arti. Yang pertama disebut ‘literal/ harafiah’ sedangkan yang kedua disebut sebagai ‘spiritual/ rohaniah’. Kemudian arti rohaniah ini terbagi menjadi 3 macam, yaitu: alegoris, moral dan anagogis. ((lihat Katekismus Gereja Katolik, 115-117; lihat juga Verbum Domini, 37)) Ke-empat macam arti ini secara jelas menghubungkan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
a. Arti literal/ harafiah.
Arti harafiah adalah arti yang berdasarkan atas penuturan teks yang ada secara tepat. Mengikuti ajaran St. Thomas Aquinas, kita harus berpegang bahwa, “Tiap arti [Kitab Suci] berakar di dalam arti harafiah.” ((St. Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, I, q10 ad 1)) Jadi dalam membaca Kitab suci, kita harus mengerti akan arti kata-kata yang dimaksud secara harafiah yang ingin disampaikan oleh pengarangnya, baru kemudian kita melihat apakah ada maksud rohani yang lain. Arti rohani ini timbul berdasarkan arti harafiah.
b. Arti alegoris
Arti alegoris adalah arti yang lebih mendalam yang diperoleh dari suatu kejadian, jika kita menghubungkan peristiwa tersebut dengan Kristus. Contohnya:
1. Penyeberangan bangsa Israel melintasi Laut Merah adalah tanda kemenangan yang diperoleh umat beriman melalui Pembaptisan (lih.Kel14:13-31; 1Kor 10:2).
2. Kurban anak domba Paska di Perjanjian Lama merupakan gambaran kurban Yesus Sang Anak Domba Allah pada Perjanjian Baru (Kel 12: 21-28; 1 Kor 5:7).
3. Abraham yang rela mengurbankan anaknya Ishak adalah gambaran dari Allah Bapa yang rela mengurbankan Yesus Kristus Putera-Nya (Kej 22: 16; Rom 8:32).
4. Tabut Perjanjian Lama adalah gambaran dari Bunda Maria, Sang Tabut Perjanjian Baru. Karena pada tabut Perjanjian Lama tersimpan dua loh batu kesepuluh perintah Allah (Kel 25:16), roti manna (Kel 25:30), tongkat Harun sang imam(Ibr 9:4); sedangkan pada rahim Maria Sang Tabut Perjanjian Baru tersimpan Sang Sabda yang menjadi manusia (Yoh 1:14), Sang Roti Hidup (Yoh 6:35), Sang Imam Agung (Ibr 8:1).
c. Arti moral
Arti moral adalah arti yang mengacu kepada hal-hal yang baik yang ingin disampaikan melalui kejadian-kejadian di dalam KItab Suci. Hal-hal itu ditulis sebagai “contoh bagi kita …sebagai peringatan” (1 Kor 10:11).
1. Ajaran Yesus agar kita duduk di tempat yang paling rendah jika diundang ke pesta (Luk 14:10), maksudnya adalah agar kita berusaha menjadi rendah hati.
2. Peringatan Yesus yang mengatakan bahwa ukuran yang kita pakai akan diukurkan kepada kita (Mrk 4: 24) maksudnya agar kita tidak lekas menghakimi orang lain.
3. Melalui mukjizat Yesus menyembuhkan dua orang buta, yang berteriak-teriak, “Yesus, Anak Daud, kasihanilah kami!” (Mat 20: 29-34) Yesus mengajarkan agar kita tidak lekas menyerah dalam doa permohonan kita.
d. Arti anagogis
Arti anagogis adalah arti yang menunjuk kepada surga sebagai ‘tanah air abadi’. Contohnya adalah:
1. Gereja di dunia ini melambangkan Yerusalem surgawi (lih. Why 21:1-22:5).
2. Surga adalah tempat di mana Allah akan menghapuskan setiap titik air mata (Why 7:17).
e. Hubungan antara ke-empat arti Kitab Suci
Berikut ini adalah pepatah yang berasal dari Abad Pertengahan tentang arti ke-empat arti Kitab Suci. “Huruf [dari kata letter/ literal] mengajarkan kejadian; apa yang harus kau percaya, alegori; moral, apa yang harus kau lakukan; ke mana kau harus berjalan, anagogi.” ((Katekismus Gereja Katolik 118; dikutip juga dalam Verbum Domini, 37))
4. Contoh interpretasi Kitab Suci dengan menggunakan ke-4 prinsip
Maka semua kejadian di dalam Kitab Suci memiliki makna harafiah, walaupun dapat mengandung arti rohaniah juga. Contohnya adalah kisah Allah menurunkan roti manna di padang gurun (Kel 16). ((Untuk kebih lanjut mengenai ke-4 arti dalam Kitab Suci ini, silakan membaca buku karangan Mark P. Shea, “Making Sense Out of Scripture: Reading the Bible as the First Christians did (Rancho Santa Fe, CA: Basilica Press, 1999).))
1. Secara harafiah, memang Allah memberi makan bangsa Israel dengan manna yang turun dari langit selama 40 tahun saat mereka mengembara di padang gurun.
2. Secara alegoris, roti manna menjadi gambaran Ekaristi, di mana Yesus sebagai Roti Hidup adalah Roti yang turun dari surga (Yoh 6:51), menjadi santapan rohani kita umat beriman yang masih berziarah di dunia ini.
3. Secara moral, kisah ini mengajarkan kita untuk tidak cepat mengeluh dan bersungut-sungut (Kel 16:2-3) kepada Allah. Umat Israel yang bersungut-sungut akhirnya dihukum Allah sehingga tak ada dari generasi mereka yang dapat masuk ke tanah terjanji (selain Yoshua dan Kaleb).
4. Secara anagogis, kita diingatkan bahwa seperti roti manna yang berhenti diturunkan setelah bangsa Israel masuk ke Tanah Kanaan, maka Ekaristipun akan berakhir pada saat kita masuk Surga, yaitu saat kita melihat Tuhan dalam keadaan yang sebenarnya (1 Yoh 3:2).
5. Peran Gaya Bahasa dalam Kitab Suci
Seperti halnya pada karya tulis pada umumnya, peran gaya bahasa adalah sangat penting. Demikian juga pada Kitab Suci, sebab Allah berbicara pada kita dengan menggunakan bahasa manusia. Maka kita perlu memahami gaya bahasa yang digunakan, agar dapat lebih memahami isinya. Secara umum, gaya bahasa yang digunakan dalam Kitab Suci sebenarnya tidaklah rumit, sehingga orang kebanyakan dapat menangkap maksudnya. Dalam hampir semua perikop Kitab Suci, sebenarnya cukup jelas, apakah pengarang Injil sedang membicarakan hal yang harafiah atau yang rohaniah. Namun ada kekecualian pada perikop-perikop tertentu, sehingga kita perlu mengetahui beberapa prinsipnya: ((lihat Father Frank Chacon & Jim Burnham, Beginning Apologetics 7, How to Read the Bible, (San Juan Catholic Seminars, Farmington, NM, 2003) p. 24-25.))
1. Simili: adalah perbandingan langsung antara kedua hal yang tidak serupa. Misalnya, pada kitab Dan 2:40, digambarkan kerajaan yang ke-empat ‘yang keras seperti besi’, maksudnya adalah kekuatan kerajaan tersebut, yang dapat menghancurkan kerajaan lainnya.
2. Metafor: adalah perbandingan tidak langsung dengan mengambil sumber sifat-sifat yang satu dan menerapkannya pada yang lain. Contohnya, “Jiwaku haus kepada Allah Yang hidup” (Mzm 42:3). Sesungguhnya, jiwa yang adalah rohani tidak mungkin bisa haus, seperti tubuh haus ingin minum. Jadi ungkapan ini merupakan metafor untuk menjelaskan kerinduan jiwa kepada Allah.
3. Bahasa perkiraan: adalah penggambaran perkiraan, seperti jika dikatakan pembulatan angka-angka perkiraan. Misalnya,“Yesus memberi makan kepada lima ribu orang laki-laki” (Mat 14: 21; Mrk 6:44; Luk 9:14; Yoh 6:10) dapat berarti kurang lebih 5000 orang, dapat kurang atau lebih beberapa puluh.
4. Bahasa fenomenologi: adalah penggambaran sesuatu seperti yang nampak, dan bukannya seperti mereka adanya. Kita mengatakan ‘matahari terbit’ dan ‘matahari terbenam’, meskipun kita mengetahui bahwa kedua hal tersebut merupakan akibat dari perputaran bumi. Demikian juga dengan ucapan bahwa ‘matahari tidak bergerak’ (Yos 10: 13-14).
5. Personifikasi/ antropomorfis : adalah pemberian sifat-sifat manusia kepada sesuatu yang bukan manusia. Contohnya adalah ungkapan ‘wajah Tuhan’ atau ‘tangan Tuhan’ (Kel 33: 20-23), meskipun kita mengetahui bahwa Tuhan adalah Allah adalah Roh (Yoh 4:24) sehingga tidak terdiri dari bagian-bagian tertentu.
6. Hyperbolisme: adalah pernyataan dengan penekanan efek yang besar, sehingga kekecualian tidak terucapkan. Contohnya adalah ucapan rasul Paulus, “Semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rom 3:23); di sini tidak termasuk Yesus, yang walaupun Tuhan juga sungguh-sungguh manusia dan juga tidak termasuk Bunda Maria yang walaupun manusia tetapi sudah dikuduskan Allah sejak dalam kandungan (tanpa dosa asal).
Selanjutnya, ada juga kekecualian juga terjadi pada kondisi berikut:
1. Jika Kitab Suci jelas mengatakannya bahwa yang disampaikan adalah perumpamaan, maka yang disampaikan tidak/ belum tentu terjadi. Contoh Yoh 10:6 “Itulah yang dikatakan Yesus dalam perumpamaan kepada mereka…” yang kemudian dilanjutkan oleh Yesus, yang mengumpamakan Ia sebagai ‘pintu’ (Yoh 10:7). Demikian juga dengan Mat 13:33 yang mengatakan bahwa Yesus mengajar dengan perumpamaan. Di sini perumpamaan belum tentu terjadi secara nyata.
2. Interpretasi harafiah dilakukan sejalan dengan akal sehat, namun jika tidak masuk akal, maka tidak mungkin dimaksudkan secara harafiah. Jadi misalnya, pada saat Yesus mengatakan bahwa raja Herodes adalah ‘serigala’ (Luk 13:32), maka kita tidak akan mengartikan bahwa pada waktu itu pemerintah di jaman Yesus dikepalai oleh mahluk mamalia, berambut, berekor, berkuping lancip yang bernama Herodes.
3. Jika pengartian secara harafiah malah menujukkan kontradiksi pada Allah, maka gaya bahasa yang diucapkan tidak dimaksudkan untuk diartikan secara harafiah. Dalam hal ini penting sekali kita melihat ayat-ayat lain untuk melihat gambaran yang lebih jelas akan makna ayat tersebut. Contoh: Dalam Mat 23:9, Yesus berkata “Jangan memanggil seorangpun sebagai bapa di bumi ini”, padahal baru sesaat sebelumnya Yesus mengulangi perintah ke-4 dari kesepuluh perintah Allah, “Hormatilah ibu bapa-mu” (Mat 19:19) dan Ia juga menyebut Abraham sebagai “bapa” (Mat 3:9). Selanjutnya kita melihat bagaimana Rasul Paulus kemudian menyebut dirinya sendiri sebagai “bapa” bagi umat di Korintus (1 Kor 4:15) dan kepada Onesimus (Flm 1:10). Maka ayat Mat 23:9 tidak mungkin diartikan secara harafiah. Dalam hal ini, Yesus menggunakan gaya bahasa hyperbolisme untuk menyatakan otoritas ilahi yang mengatasi otoritas duniawi.
IV. Contoh- contoh ayat dan interpretasinya.
1. Ayat- ayat yang menunjukkan tipologis Perjanjian Lama digenapi dalam Perjanjian Baru
Bukan menjadi kebetulan bahwa lebih dari dua per tiga bagian dari Kitab Suci adalah Perjanjian Lama (Perjanjian Baru hanya sepertiga bagian). Ini menunjukkan bahwa Perjanjian Lama mengambil bagian yang cukup penting di dalam Kitab Suci, yang akhirnya dipenuhi di dalam Perjanjian Baru. Maka Perjanjian Baru (PB) perlu dibaca dalam terang Perjanjian Lama (PL) dan demikian pula sebaliknya.
Tipologi maksudnya adalah bahwa PL merupakan tanda/ tipe yang dipenuhi maknanya di dalam PB. Tipologi menerangkan bagaimana Kristus dan Gereja-Nya telah dinyatakan secara figuratif di dalam PL. Beberapa contoh yang cukup jelas adalah:
1. Dalam Yoh 3:14 Yesus sendiri mengajarkan bahwa “Ular [tembaga] yang ditinggikan di padang gurun” yang disebutkan dalam Bil 21:9 melambangkan penyaliban-Nya di gunung Golgota.
2. Dalam Mat 12:40, Yesus mengajarkan bahwa masa 3 hari Nabi Yunus berada di dalam perut ikan besar (Yun 1:17), merupakan gambaran dari 3 hari Yesus berada di dalam kubur, sebelum kebangkitan-Nya.
3. Dalam Luk 24:26-27, sewaktu Yesus menampakkan diri kepada para murid-Nya dalam perjalanan ke Emaus, Ia sendiri menghubungkan isi Kitab Suci [Perjanjian Lama] yang digenapi di dalam diriNya sebagai Mesias yang menderita, wafat dan bangkit dengan mulia [dalam Perjanjian Baru].
4. Dalam 1Pet 3:19-21, Rasul Petrus menyatakan bahwa air bah pada jaman Nabi Nuh merupakan gambaran/ kiasan Pembaptisan.
5. Dalam Rom 5:14, Rasul Paulus menyebutkan bahwa manusia pertama Adam adalah “gambaran” dari Kristus, [dengan Kristus sebagai manusia sempurna]; sebab dosa datang karena Adam, dan keselamatan datang karena Kristus, Putera Allah yang menjelma menjadi manusia.
6. Wahyu 11:19- 12:1-2: Bunda Maria sebagai Tabut Perjanjian Baru: Di dalam Kitab Perjanjian Lama, yaitu di Kitab Keluaran bab 25 sampai dengan 31, kita melihat bagaimana ’spesifik-nya’ Allah saat Ia memerintahkan Nabi Musa untuk membangun Kemah suci dan Tabut Perjanjian. Ukurannya, bentuknya, bahannya, warnanya, pakaian imamnya, sampai seniman-nya (lih. Kel 31:1-6), semua ditunjuk oleh Tuhan. Hanya imam (Harun) yang boleh memasuki tempat Maha Kudus itu dan ia pun harus disucikan sebelum mempersembahkan korban di Kemah suci (Kel 40:12-15). Jika ia berdosa, maka ia akan meninggal seketika pada saat ia menjalankan tugasnya di Kemah itu (Im 22:9). Hal ini menunjukkan bagaimana Allah sangat mementingkan kekudusan Tabut suci itu, yang di dalamnya diletakkan roti manna (Kel 25:30), dan dua loh batu kesepuluh perintah Allah (Kel 25:16), dan tongkat imam Harun (Bil 17:10; Ibr 9:4). Betapa lebih istimewanya perhatian Allah pada kekudusan Bunda Maria, Sang Tabut Perjanjian Baru, karena di dalamnya terkandung PuteraNya sendiri, Sang Roti Hidup (Yoh 6:35), Sang Sabda yang menjadi manusia (Yoh 1:14), Sang Imam Agung yang Tertinggi (Ibr 8:1)! (Lihat pula bagaimana Allah menguduskan Tabut Perjanjian Lama dalam 2 Sam 6:6-7, 1 Taw 13:9-10, dan juga perbandingan ayat 2 Sam 6:9; dengan Luk 1:43; 2 Sam 6:11 dengan Luk 1:56). Persyaratan kekudusan Bunda Maria -Sang Tabut Perjanjian Baru- pastilah jauh lebih tinggi daripada kekudusan Tabut Perjanjian Lama yang tercatat dalam Kitab Keluaran, Samuel dan Tawarikh itu. Bunda Maria, Sang Tabut Perjanjian Baru, harus kudus, dan tidak mungkin berdosa, karena Allah sendiri masuk dan tinggal di dalam rahimnya. Itulah sebabnya Bunda Maria dibebaskan dari noda dosa oleh Allah.
2. Contoh ayat- ayat yang harus dilihat kaitannya dengan ayat- ayat lainnya, Tradisi Suci dan pengajaran Magisterium Gereja
a. Ayat- ayat tentang keselamatan
Ayat Yoh 3:16 mengatakan bahwa siapa yang percaya pada Yesus akan memperoleh hidup kekal, atau “diselamatkan”; lalu pada ayat Ef 2:8 ada perkataan “diselamatkan oleh iman”, maka ada banyak orang Kristen non- Katolik mengatakan bahwa Kitab Suci mengajarkan bahwa kita diselamatkan hanya oleh iman saja (saved by faith alone). Padahal ayat-ayat Kitab Suci yang lain memberikan pengajaran yang lebih menyeluruh, misalnya pada ayat Ef 2:8 sendiri dikatakan: “Karena kasih karunia kita diselamatkan oleh iman”, sehingga di sini saja kita tahu bahwa bukan hanya iman yang menyelamatkan kita. Ayat yang lain mengajarkan iman yang menyelamatkan itu “bekerja oleh kasih” (Gal 5:6). Artinya kita harus melakukan perintah Tuhan agar dapat diselamatkan (Mat 19:17), dan perintah ini adalah hukum kasih kepada Tuhan dan sesama (Mat 22:37-40; Mrk 12:30-31). Kitab Suci juga mengajarkan bahwa -keselamatan dalam Kristus diperoleh dengan iman melalui pertobatan dan pembaptisan dalam nama-Nya, demi penebusan dosa (Kis 2:38-41). Rasul Yakobus, bahkan dengan jelas mengatakan bahwa kita dibenarkan karena perbuatan-perbuatan kita dan bukan hanya karena iman (Yak 2:24). Kristus sendiri menyatakan bahwa agar seseorang dapat masuk dalam Kerajaan Allah (diselamatkan), ia harus dilahirkan kembali dengan air dan Roh (Yoh 3:5). Dengan demikian, untuk mengetahui gambaran yang menyeluruh tentang keselamatan, maka kita harus melihat Kitab Suci secara keseluruhan.
Oleh karena itu, Magisterium Gereja Katolik mengajarkan demikian:
1. KGK 1257 Tuhan sendiri mengatakan bahwa Pembaptisan itu perlu untuk keselamatan (Bdk. Yoh 3:5). Karena itu, Ia memberi perintah kepada para murid-Nya, untuk mewartakan Injil dan membaptis semua bangsa (Bdk. Mat 28:19-20; DS 1618; LG 14; AG 5). Pembaptisan itu perlu untuk keselamatan orang-orang, …Gereja tidak mengenal sarana lain dari Pembaptisan, untuk menjamin langkah masuk ke dalam kebahagiaan abadi. Karena itu, dengan rela hati ia mematuhi perintah yang diterimanya dari Tuhan, supaya membantu semua orang yang dapat dibaptis, untuk memperoleh “kelahiran kembali dari air dan Roh”. Tuhan telah mengikatkan keselamatan pada Sakramen Pembaptisan, tetapi Ia sendiri tidak terikat pada sakramen-sakramen-Nya.
2. KGK 1815 Anugerah iman tinggal di dalam dia yang tidak berdosa terhadapnya (Bdk. Konsili Trente: DS 1545). Tetapi “iman tanpa perbuatan adalah mati” (Yak 2:26) Iman tanpa harapan dan kasih tidak sepenuhnya mempersatukan orang beriman dengan Kristus dan tidak menjadikannya anggota yang hidup dalam Tubuh-Nya.
3. KGK 1816 Murid Kristus harus mempertahankan iman dan harus hidup darinya, harus mengakuinya, harus memberi kesaksian dengan berani dan melanjutkannya; Semua orang harus “siap-sedia mengakui Kristus di muka orang-orang, dan mengikuti-Nya menempuh jalan salib di tengah penganiayaan, yang selalu saja menimpa Gereja ” (LG 42, Bdk. DH 14). Pengabdian dan kesaksian untuk iman sungguh perlu bagi keselamatan: “Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di surga. Tetapi barang siapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di surga” (Mat 10:32-33)
b. Ayat- ayat yang menyebutkan adanya ‘saudara- saudara’ Yesus.
Perikop Luk 8:19-21 atau juga Mat 12:46-50, Mrk 3:31-35, memang berjudul: Yesus dan sanak saudara-Nya. Bahkan dalam Mat 13:55 dan Mrk 6:3 disebutkan nama saudara- saudara-Nya itu yaitu: Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon. Oleh karena itu ada banyak orang menyangka bahwa Yesus mempunyai saudara- saudara kandung, atau artinya Bunda Maria mempunyai anak- anak lain selain Yesus. Namun tentu ini tidak benar!
Di dalam Kitab Suci, istilah “saudara” dipakai untuk menjelaskan banyak arti. Kata “saudara” (dari kata Yunani, ‘adelphos’ ) memang dapat berarti saudara kandung, namun dapat juga berarti saudara seiman (Kis 21:7), saudara sebangsa (Kis 22:1), ataupun kerabat, seperti pada kitab asli bahasa Ibrani yang mengatakan Lot sebagai saudara Abraham (Kej 14:14), padahal Lot adalah keponakan Abraham.
Jadi untuk memeriksa apakah Yakobus dan Yusuf itu adalah saudara Yesus, kita melihat kepada ayat-ayat yang lain, yaitu ayat Matius 27:56 dan Markus 15:40, yang menuliskan nama-nama perempuan yang ‘melihat dari jauh’ ketika Yesus disalibkan. Mereka adalah Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus dan Yusuf/ Yoses, dan ibu anak-anak Zebedeus (Mat 27:56); atau Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus Muda, Yoses dan Salome (Mrk 15:40). Maka di sini, Kitab Suci menunjukkan bahwa Maria ibu Yakobus ini tidak sama dengan Bunda Maria. Maria ibu Yakobus dan Yoses (Yusuf) dicatat dalam Kitab Suci sebagai salah satu wanita yang menyaksikan penyaliban Kristus (Mat 27:56; Mrk 15:40) dan kubur Yesus yang kosong/ kebangkitan Yesus (Mrk 16:1; Luk 24:10)
Mungkin yang paling jelas adalah kutipan dari Injil Yohanes, yang menyebutkan bahwa yang hadir dekat salib Yesus adalah, Bunda Maria, saudara Bunda Maria yang juga bernama Maria yang adalah istri Klopas, dan Maria Magdalena (Yoh 19:25). Jadi di sini jelaslah bahwa Maria (saudara Bunda Maria) ini adalah istri Klopas/ Kleopas, yang adalah juga ibu dari Yakobus dan Yusuf/Yoses. Kleopas adalah salah satu dari murid-murid Yesus yang berjalan ke Emmaus dan mengalami penampakan diri Yesus setelah kebangkitan-Nya (Luk 24:18).
Kesimpulannya, Yakobus dan Yoses ini bukanlah saudara kandung Yesus.
Selanjutnya, kita juga melihat bahwa Tradisi Suci mengajarkan bahwa Bunda Maria adalah Perawan selamanya, sehingga dengan demikian Yesus tidak mempunyai saudara- saudari kandung:
1. St. Ignatius dari Antiokhia (meninggal tahun 110), Origen (233), Hilarius dari Poiters (m. 367) dan St.Gregorius Nissa (m. 394), mengajarkan tentang keperawanan Bunda Maria. ((lihat Robert Payesko, The Truth about Mary, Volume II, (Queenship Publishing Company, CA, 1998), p. 2-155))
2. Tertullian (213), “Dan sungguh, ada seorang perawan… yang melahirkan Kristus, supaya semua gelar kekudusan dapat dipenuhi di dalam diri orang tua Kristus, melalui seorang ibu yang adalah perawan dan istri dari satu orang suami.” ((Tertullian, On Monogamy, 8))
3. St. Athanasius (293-373) menyebutkan Maria sebagai Perawan selamanya/ Ever Virgin. ((St. Athanasius, Discourses Against the Arians, 2, 70, Jurgens, Vol.1, n. 767a ))
4. St. Epifanus (374): Allah Putera …. telah lahir sempurna dari Maria suci dan tetap Perawan oleh Roh Kudus….” ((St. Epiphanus, Well Anchored Man, 120))
5. St. Hieronimus/ Jerome (347- 420) tidak hanya menyebutkan keperawanan Maria, tetapi juga keperawanan Yusuf. ((St. Jerome, The Perpetual Virginity of Blessed Mary, Chap 21, seperti dikutip oleh John R. Willis, SJ, The Teaching of the Church Fathers (Ignatius Press, San Francisco, 2002 reprint, original print by Herder and Herder, 1966) p. 358 ))
6. St. Agustinus dan St. Ambrosius (415), mengajarkan keperawanan Maria sebelum, pada saat dan sesudah melahirkan Yesus Kristus, sehingga Maria adalah perawan selamanya. ((Lihat St. Augustine, Sermons, 186, Heresies, 56; Jurgens, vol.3, n. 1518 dan 1974d))
“Dengan kuasa Roh Kudus yang sama, Yesus lahir tanpa merusak keperawanan Bunda Maria, seperti halnya setelah kebangkitan-Nya, Dia dapat datang ke dalam ruang tempat para murid-Nya berdoa, tanpa merusak semua pintu yang terkunci (Lih. Yoh 20:26).” ((St. Augustine, Letters no. 137., seperti dikutip olehJohn R. Willis, SJ, The Teaching of the Church Fathers, p. 360)) Roh Kudus yang membangkitkan Yesus dari mati adalah Roh Kudus yang sama yang membentuk Yesus dalam rahim Bunda Maria. Maka kelahiran Yesus dan kebangkitan-Nya merupakan peristiwa yang ajaib: kelahirannya tidak merusak keperawanan Maria, seperti kebangkitan-Nya tidak merusak pintu yang terkunci.
Selanjutnya, St. Agustinus mengajarkan, “It is not right that He who came to heal corruption should by His advent violate integrity.” (Adalah tidak mungkin bahwa Ia yang datang untuk menyembuhkan korupsi/kerusakan, malah merusak keutuhan pada awal kedatangan-Nya.” ((St. Agustinus, Serm. 189, n.2; PL 38, 1005))
“Dengan kuasa Roh Kudus yang sama, Yesus lahir tanpa merusak keperawanan Bunda Maria, seperti halnya setelah kebangkitan-Nya, Dia dapat datang ke dalam ruang tempat para murid-Nya berdoa, tanpa merusak semua pintu yang terkunci (Lih. Yoh 20:26).” ((St. Augustine, Letters no. 137., seperti dikutip olehJohn R. Willis, SJ, The Teaching of the Church Fathers, p. 360)) Roh Kudus yang membangkitkan Yesus dari mati adalah Roh Kudus yang sama yang membentuk Yesus dalam rahim Bunda Maria. Maka kelahiran Yesus dan kebangkitan-Nya merupakan peristiwa yang ajaib: kelahirannya tidak merusak keperawanan Maria, seperti kebangkitan-Nya tidak merusak pintu yang terkunci.
Selanjutnya, St. Agustinus mengajarkan, “It is not right that He who came to heal corruption should by His advent violate integrity.” (Adalah tidak mungkin bahwa Ia yang datang untuk menyembuhkan korupsi/kerusakan, malah merusak keutuhan pada awal kedatangan-Nya.” ((St. Agustinus, Serm. 189, n.2; PL 38, 1005))
7. St. Petrus Kristologus (406- 450): “Sang Perawan mengandung, Sang Perawan melahirkan anaknya, dan ia tetap perawan.” ((St. Petrus Kristologus, Sermon 117 )) Paus St. Leo Agung (440-461) :“a Virgin conceived, a Virgin bare and a Virgin she remained.– [Ia adalah seorang Perawan yang mengandung, Perawan melahirkan, dan ia tetap Perawan.” ((Paus St. Leo Agung, On the Feast of the Nativity, Sermon 22:2 )). St. Yohanes Damaskinus (676- 749) juga mengatakan hal yang serupa: “Ia yang tetap Perawan, bahkan tetap perawan setelah kelahiran [Kristus] tak pernah sampai akhir hidupnya berhubungan dengan seorang pria… Sebab meskipun dikatakan Ia [Kristus] sebagai yang ’sulung’…. arti kata ’sulung’ adalah ia yang lahir pertama kali, dan tidak menunjuk kepada kelahiran anak- anak berikutnya.”
Atas dasar Tradisi Suci tersebut, maka Magisterium Gereja Katolik mengajarkan demikian tentang keperawanan Maria:
1. Maria adalah Perawan, sebelum, pada saat dan sesudah kelahiran Yesus Kristus (De fide). ((lih. Dr. Ludwig Ott, Fundamentals of Catholic Dogma, ed. James Canon Bastible, D.D, (Rockford, Illinois: TAN books and publishers, Inc. 1974) p.203))
Konsili Konstantinopel II (553) menyebutkan Bunda Maria sebagai, “kudus, mulia, dan tetap-Perawan Maria”. ((Robert Payesko, The Truth about Mary, Volume II, Mary in Scripture and the Historic of Christian Faith, (Queenship Publishing Company, CA, 1998), p.2-155, Salah satu butir pengajaran untuk menjawab ajaran yang keliru tentang Bunda Maria di dalam Konsili Konstantinopel II, butir 6,“If anyone declares that it can be only inexactly and not truly said that the holy and glorious ever-virgin Mary is the mother of God, or says that she is so only in some relative way, considering that she bore a mere man and that God the Word was not made into human flesh in her, holding rather that the nativity of a man from her was referred, as they say, to God the Word as he was with the man who came into being; if anyone misrepresents the holy synod of Chalcedon, alleging that it claimed that the virgin was the mother of God only according to that heretical understanding which the blasphemous Theodore put forward; or if anyone says that she is the mother of a man or the Christ-bearer, that is the mother of Christ, suggesting that Christ is not God; and does not formally confess that she is properly and truly the mother of God, because he who before all ages was born of the Father, God the Word, has been made into human flesh in these latter days and has been born to her, and it was in this religious understanding that the holy synod of Chalcedon formally stated its belief that she was the mother of God: let him be anathema.”))
Konsili Konstantinopel II (553) menyebutkan Bunda Maria sebagai, “kudus, mulia, dan tetap-Perawan Maria”. ((Robert Payesko, The Truth about Mary, Volume II, Mary in Scripture and the Historic of Christian Faith, (Queenship Publishing Company, CA, 1998), p.2-155, Salah satu butir pengajaran untuk menjawab ajaran yang keliru tentang Bunda Maria di dalam Konsili Konstantinopel II, butir 6,“If anyone declares that it can be only inexactly and not truly said that the holy and glorious ever-virgin Mary is the mother of God, or says that she is so only in some relative way, considering that she bore a mere man and that God the Word was not made into human flesh in her, holding rather that the nativity of a man from her was referred, as they say, to God the Word as he was with the man who came into being; if anyone misrepresents the holy synod of Chalcedon, alleging that it claimed that the virgin was the mother of God only according to that heretical understanding which the blasphemous Theodore put forward; or if anyone says that she is the mother of a man or the Christ-bearer, that is the mother of Christ, suggesting that Christ is not God; and does not formally confess that she is properly and truly the mother of God, because he who before all ages was born of the Father, God the Word, has been made into human flesh in these latter days and has been born to her, and it was in this religious understanding that the holy synod of Chalcedon formally stated its belief that she was the mother of God: let him be anathema.”))
2. Konsili ini merangkum ajaran-ajaran penting sehubungan dengan ajaran bahwa Yesus, adalah sungguh Allah dan sungguh manusia. Termasuk dalam ajaran ini adalah ajaran tentang keperawanan Maria; karena kelahiran Yesus dari seorang Perawan adalah salah satu bukti keilahian-Nya. Selanjutnya, pemahaman tentang Maria dikuduskan Allah diperoleh dengan memahami perbandingannya dengan Tabut Perjanjian di Perjanjian Lama. Jika Tabut Perjanjian Lama saja begitu dikuduskan Allah, betapa Allah akan lebih lagi secara istimewa menguduskan Maria, Tabut Perjanjian Baru, yang mengandung dan melahirkan Kristus, Sang Sabda yang telah menjadi daging, Sang Roti Hidup dan Sang Imam Agung. Sinode Lateran (649) di bawah Paus Martin I mengatakan:
“Ia [Maria] mengandung tanpa benih laki-laki, [melainkan] dari Roh Kudus, melahirkan tanpa merusak keperawanannya, dan keperawanannya tetap tidak terganggu setelah melahirkan.” (D256)
Maka keperawanan Maria termasuk 1) keperawanan hati, 2) kemerdekaan dari hasrat seksual yang tak teratur dan 3) integritas fisik. Namun doktrin Gereja secara prinsip mengacu kepada keperawanan tubuh/ fisik Maria. ((lih. Dr. Ludwig Ott, Fundamentals of Catholic Dogma, Ibid., p. 204))
Maria mengandung dari Roh Kudus, tanpa campur tangan manusia (De fide)Ini sesuai dengan kabar gembira yang disampaikan oleh malaikat Gabriel (lih. Luk 1: 35). Maria mengandung dari Roh Kudus dinyatakan dalam Syahadat Aku Percaya, “Qui conceptus est de Spiritu Sancto.” (D 86, 256,993)
Maria melahirkan Putera-Nya tanpa merusak keperawanannya (De fide)
Keperawanan Maria pada saat melahirkan Yesus termasuk dalam gelar, “tetap perawan” yang diberikan kepada Maria oleh Konsili Konstantinopel (553) (D214, 218, 227). Doktrin ini diajarkan oleh Paus Leo I dalam Epistola Dogmatica ad Flavianum (Ep 28,2), disetujui oleh Konsili di Kalsedon, dan diajarkan dalam Sinode Lateran (649). Prinsipnya adalah ajaran dari St. Agustinus (Enchiridion 34) yang mengajarkan dengan analogi- Yesus keluar dari kubur tanpa merusaknya, Ia masuk ke dalam ruangan terkunci tanpa membukanya, menembusnya sinar matahari dari gelas, lahirnya Sabda dari pangkuan Allah Bapa, keluarnya pikiran manusia dari jiwanya.
Keperawanan Maria pada saat melahirkan Yesus termasuk dalam gelar, “tetap perawan” yang diberikan kepada Maria oleh Konsili Konstantinopel (553) (D214, 218, 227). Doktrin ini diajarkan oleh Paus Leo I dalam Epistola Dogmatica ad Flavianum (Ep 28,2), disetujui oleh Konsili di Kalsedon, dan diajarkan dalam Sinode Lateran (649). Prinsipnya adalah ajaran dari St. Agustinus (Enchiridion 34) yang mengajarkan dengan analogi- Yesus keluar dari kubur tanpa merusaknya, Ia masuk ke dalam ruangan terkunci tanpa membukanya, menembusnya sinar matahari dari gelas, lahirnya Sabda dari pangkuan Allah Bapa, keluarnya pikiran manusia dari jiwanya.
Setelah melahirkan Yesus, Maria tetap perawan (De fide).
Konsili Konstantinopel (553) dan Sinode Lateran (649) menyebutkan gelar “tetap perawan”(D 214, 218, 227). St. Agustinus dan para Bapa Gereja mengartikan ayat yang disampaikan oleh Bunda Maria, “karena aku tidak bersuami (I know not man)” (Luk 1:34) (Douay Rheims Bible) adalah suatu ungkapan kaul Bunda Maria untuk hidup selibat sepanjang hidupnya.
Konsili Konstantinopel (553) dan Sinode Lateran (649) menyebutkan gelar “tetap perawan”(D 214, 218, 227). St. Agustinus dan para Bapa Gereja mengartikan ayat yang disampaikan oleh Bunda Maria, “karena aku tidak bersuami (I know not man)” (Luk 1:34) (Douay Rheims Bible) adalah suatu ungkapan kaul Bunda Maria untuk hidup selibat sepanjang hidupnya.
V. Lectio Divina
Walaupun pendekatan pengetahuan akan Tradisi Suci adalah sangat penting, namun pendekatan penghayatan Sabda dalam relasi pribadi dengan Tuhan juga tak kalah penting. Oleh karena itu, Bapa Gereja dan konsili-konsili Gereja mengajarkan kita untuk senantiasa berdoa dalam membaca Kitab Suci. Lebih lanjut, Verbum Dominimenekankan untuk membaca Kitab Suci dalam dialog dengan Tuhan ((lih. Verbum Domini, 86-87)). St. Agustinus mengatakan “Your prayer is the word you speak to God. When you read the Bible, God speaks to you; when you pray, you speak to God” ((Expositions on the Psalms, 85, 7: PL 37, 1086.)) Dengan demikian, orang yang membawa Sabda Allah dan merenungkannya di dalam doa, maka menjadi suatu percakapan yang begitu intim dan personal antara seseorang dengan Tuhan, yang pada akhirnya akan membaca seseorang pada kesempurnaan kehidupan Kristiani. Namun, dokumen yang sama mengingatkan agar kita tidak boleh terjebak pada interpretasi pribadi, namun harus teks-teks di dalam Kitab Suci harus senantiasa dimengerti dalam kesatuan dengan Gereja.
1. Pengertian
Tradisi Gereja Katolik mengenal apa yang disebut sebagai “lectio divina” untuk membantu kita umat beriman untuk sampai kepada persahabatan yang mendalam dengan Tuhan. Caranya ialah dengan mendengarkan Tuhan berbicara kepada kita melalui sabda-Nya. “Lectio” sendiri adalah kata Latin yang artinya “bacaan”. ((1. Lih. M. Basil Pennington, Lectio Divina, (New York: A Crossroad Book, 1998), p. 1)) Maka “lectio divina” berarti bacaan ilahi atau bacaan rohani. Bacaan ilahi/ rohani ini terutama diperoleh dari Kitab Suci. Maka, lectio divina adalah cara berdoa dengan membaca dan merenungkan Kitab Suci untuk mencapai persatuan dengan Tuhan Allah Tritunggal. Di samping itu, dengan berdoa sambil merenungkan Sabda-Nya, kita dapat semakin memahami dan meresapkan Sabda Tuhan dan misteri kasih Allah yang dinyatakan melalui Kristus Putera-Nya. Melalui lectio divina, kita diajak untuk membaca, merenungkan, mendengarkan, dan akhirnya berdoa ataupun menyanyikan pujian yang berdasarkan sabda Tuhan, di dalam hati kita. Penghayatan sabda Tuhan ini akan membawa kita kepada kesadaran akan kehadiran Allah yang membimbing kita dalam segala kegiatan kita sepanjang hari. Jika kita rajin dan tekun melaksanakannya, kita akan mengalami eratnya persahabatan kita dengan Allah. Suatu pengalaman yang begitu indah tak terlukiskan!
2. Empat hal dalam proses lectio divina
Meskipun terjemahan bebas dari kata lectio adalah bacaan, proses yang terjadi dalam lectio divina bukan hanya sekedar membaca. Proses lectio divina ini menyangkut empat hal, yaitu: lectio, meditatio, oratio dan contemplatio. ((Lih. Ibid., p. 57, 88))
a. Lectio
Membaca di sini bukan sekedar membaca tulisan, melainkan juga membuka keseluruhan diri kita terhadap Sabda yang menyelamatkan. Kita membiarkan Kristus, Sang Sabda, untuk berbicara kepada kita, dan menguatkan kita, sebab maksud kita membaca bukan sekedar untuk pengetahuan tetapi untuk perubahan dan perbaikan diri kita. Maka saat kita sudah menentukan bacaan yang akan kita renungkan (misalnya bacaan Injil hari itu, atau bacaan dari Ibadat Harian), kita dapat membacanya dengan kesadaran bahwa ayat-ayat tersebut sungguh ditujukan oleh Tuhan kepada kita.
b. Meditatio
Meditatio adalah pengulangan dari kata-kata ataupun frasa dari perikop yang kita baca, yang menarik perhatian kita. Ini bukan pelatihan pemikiran intelektual di mana kita menelaah teksnya, tetapi kita menyerahkan diri kita kepada pimpinan Allah, pada saat kita mengulangi dan merenungkan kata-kata atau frasa tersebut di dalam hati. Dengan pengulangan tersebut, Sabda itu akan menembus batin kita sampai kita dapat menjadi satu dengan teks itu. Kita mengingatnya sebagai sapaan Allah kepada kita.
c. Oratio
Doa adalah tanggapan hati kita terhadap sapaan Tuhan. Setelah dipenuhi oleh Sabda yang menyelamatkan, maka kita memberi tanggapan. Maka seperti kata St. Cyprian, “Melalui Kitab Suci, Tuhan berbicara kepada kita, dan melalui doa kita berbicara kepada Tuhan.” Maka dalam lectio divina ini, kita mengalami komunikasi dua arah, sebab kita berdoa dengan merenungkan Sabda-Nya, dan kemudian kita menanggapinya, baik dengan ungkapan syukur, jika kita menemukan pertolongan dan peneguhan; pertobatan, jika kita menemukan teguran; ataupun pujian kepada Tuhan, jika kita menemukan pernyataan kebaikan dan kebesaran-Nya.
d. Contemplatio
Saat kita dengan setia melakukan tahapan-tahapan ini, akan ada saatnya kita mengalami kedekatan dengan Allah, di mana kita berada dalam hadirat Allah yang memang selalu hadir dalam hidup kita. Kesadaran kontemplatif akan kehadiran Allah yang tak terputus ini adalah sebuah karunia dari Tuhan. Ini bukan hasil dari usaha kita ataupun penghargaan atas usaha kita. St. Teresa menggambarkan keadaan ini sebagai doa persatuan dengan Allah/ prayer of union di mana kita “memberikan diri kita secara total kepada Allah, menyerahkan sepenuhnya kehendak kita kepada kehendak-Nya.” ((St. Teresa of Avila, The Way of Perfection, text prepared by Kieran Kavanaugh, OCD, Washington DC: ICS Publication, 2000), p. 358.))
Ke-empat fase ini membuat kelengkapan lectio divina. Jika lectio diumpamakan sebagai fase perkenalan, maka meditatio adalah pertemanan, oratio persahabatan dan contemplatio sebagai persatuan.
3. Bagaimana caranya memulai lectio divina
Karena maksud dari lectio divina adalah untuk menerapkan Sabda Allah dalam kehidupan kita, dan dengan demikian hidup kita diubah dan dipimpin olehnya, maka langkah-langkah lectio divina adalah sebagai berikut:
1. Ambillah sikap doa, bawalah diri kita dalam hadirat Allah. Resapkanlah kehadiran Tuhan di dalam hati kita. Mohonlah agar Tuhan sendiri memimpin dan mengubah hidup kita melalui bacaan Kitab Suci hari itu.
2. Mohonlah kepada Roh Kudus untuk membantu kita memahami perikop itu dengan pengertian yang benar.
3. Bacalah perikop Kitab Suci tersebut secara perlahan dan dengan seksama, jika mungkin ulangi lagi sampai beberapa kali.
4. Renungkan untuk beberapa menit, akan satu kata atau ayat atau hal-hal yang disampaikan dalam perikop tersebut dan tanyakanlah kepada diri kita sendiri, “Apakah yang diajarkan oleh Allah melalui perikop ini kepadaku?”
5. Tutuplah doa dengan satu atau lebih resolusi/keputusan praktis yang akan kita lakukan, dengan menerapkan pokok-pokok ajaran yang disampaikan dalam perikop tersebut di dalam hidup dan keadaan kita sekarang ini.
6. Resapkanlah kehadiran Tuhan di sepanjang aktivitas kita sehari itu. Dengan kesadaran ini kita dapat selalu mengarahkan dan mempersembahkan segala sesuatu yang kita lakukan hari itu demi kemuliaan nama-Nya.
4. Contoh merenungkan Kitab Suci dengan lectio divina
Mari kita melihat bacaan Injil dari Mat 18:21-19:2. Di dalam perikop tersebut diceritakan perumpamaan tentang pengampunan. Pada saat kita merenungkan perikop ini, maka kita dapat bertanya pada diri sendiri, apakah yang Tuhan inginkan agar kita terapkan dalam kehidupan kita sehari hari?
Maka kita bisa membayangkan salah satu tokoh dalam perikop itu, misalnya, kita menjadi hamba itu yang berhutang sepuluh ribu talenta. Namun oleh belas kasihan raja [yaitu Tuhan], maka hutang hamba itu dihapuskan. Namun kemudian kita berjumpa dengan orang yang telah menyakiti hati kita, dan kita merasa sulit untuk mengampuni. Dengan demikian, kita bersikap seperti hamba itu, yang walaupun sudah diampuni dan dihapuskan hutangnya, namun tidak dapat/ sukar mengampuni orang lain. Mari dengan jujur melihat, apakah kita pun pernah atau sering bersikap seperti hamba yang tidak berbelas kasihan ini? Siapakah kiranya orang yang Tuhan inginkan agar kita ampuni? Tanyakanlah kepada Tuhan dalam hati, “Tuhan, tunjukkanlah kepadaku, adakah aku pernah bersikap demikian? Siapakah yang harus kuampuni…?
Sambil terus merenungkan ayat demi ayat dalam perikop tersebut, bercakap-cakaplah dengan Tuhan dalam keheningan batin. Mungkin Tuhan ingin mengingatkan kita akan ayat ini, “Bukankah engkaupun harus mengasihani kawanmu seperti Aku telah mengasihani engkau?” (Mat 18:33). Jika ayat itu yang sungguh berbicara pada kita hari ini, maka kita mengingatnya dan mengulanginya kembali dalam hati, sebagai perkataan Tuhan yang ditujukan kepada kita. Dan semakin kita merenungkannya, semakin hiduplah perkataan itu di batin kita, dan bahkan kita dapat mendapat dorongan untuk menerapkannya.
Atau jika pada saat ini kita masih terluka atas perlakuan seseorang kepada kita, maka, kitapun dapat membawanya ke hadapan Kristus. Kita dapat pula menyatakan kepada-Nya, betapa kita ingin mengampuni, namun rasa sakit masih begitu mendalam dan nyata dalam hati kita. Maka, mungkin ayat yang berbicara adalah beberapa ayat sesudahnya yang berkata, “Orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia dan Iapun menyembuhkan mereka di sana.” (Mat 19:2). Kita dapat membayangkan bahwa kita berada di antara orang yang berbondong-bondong itu, dan memohon agar Ia menyembuhkan luka-luka batin kita. Biarlah ayat Mat 19:2 meresap dalam hati kita, dan kita ulangi berkali-kali sepanjang hari, “…. dan Tuhan Yesus-pun menyembuhkan luka-luka batinku di sana.” Biarkan jamahan Tuhan yang menyembuhkan banyak orang pada 2000 tahun yang lalu menyembuhkan kita juga pada saat ini. Dengan kita mengalami kesembuhan batin, maka sedikit demi sedikit Tuhan membantu kita untuk mengampuni, sebab kekuatan kasih-Nya memampukan kita melakukan sesuatu yang di luar batas kemampuan kita sebagai manusia.
Memang, pada akhirnya, lectio divina ini tidak akan banyak berguna jika kita berhenti pada meditatio/ permenungan, tapi tanpa langkah selanjutnya. Kita harus menanggapi apa yang Tuhan sampaikan lewat sabda-Nya, dan membuat keputusan tentang apakah yang akan kita lakukan selanjutnya, setelah menerima pengajaran-Nya. Maka langkah berikut, kita dapat mengadakan percakapan/ oratio yang akrab dengan Tuhan Yesus, entah berupa ucapan syukur, pertobatan, atau permohonan, yang semua dilakukan atas dasar kesadaran kita akan besarnya kasih Tuhan kepada kita. Kesadaran akan kasih Kristus inilah yang sedikit demi sedikit mengubah kita, dan mendorong kita untuk memperbaiki diri, supaya dapat mengikuti teladan-Nya, untuk mengasihi orang-orang di sekitar kita, terutama anggota keluarga kita sendiri: suami, istri, orang tua, dan anak-anak. Kasih-Nya ini pula yang membangkitkan di dalam hati kita rasa syukur, atas pengampunan dan pertolongan-Nya pada kita. Dengan memandang kepada Yesus, kita dapat melihat dengan jujur ke dalam diri kita sendiri, untuk menemukan hal-hal yang masih harus kita perbaiki, agar kita dapat hidup sesuai dengan panggilan kita sebagai murid- murid-Nya.
Jika melalui lectio divina akhirnya kita mampu mengalahkan kehendak diri sendiri untuk mengikuti kehendak Allah, maka kita perlu sungguh bersyukur. Sebab sesungguhnya, ini adalah karya Roh Kudus yang nyata dalam hidup kita. Perubahan hati, atau pertobatan terus menerus yang menghantar kita lebih dekat kepada Tuhan dengan sendirinya mempersiapkan kita untuk bersatu dengan-Nya dalam contemplatio. Dalam contemplatio ini, hanya ada Allah saja di dalam hati dan pikiran kita. Kerajaan-Nya memenuhi hati kita, sehingga kehendak-Nya sepenuhnya menjadi kehendak kita. “Jadilah padaku ya Tuhan, menurut kehendak-Mu….” Dan dalam keheningan dan kedalaman batin kita masuk dalam persatuan dengan Dia.
Jika arti doa yang sesungguhnya adalah “turun dengan pikiran kita menuju ke dalam hati, dan di sana kita berdiri di hadapan wajah Tuhan, yang selalu hadir, selalu memandang kita, di dalam diri kita,” (( Henri J.M. Nouwen, The Way of the Heart, (New York: Ballantine Books, 1991), p.59 maka contemplatio adalah puncak doa. Ini adalah saat di mana kita memandang Yesus dengan pandangan iman: “Aku memandang Dia dan Dia memandangku.” Katekismus Gereja Katolik 2715)). Pandangan kepada Yesus ini adalah suatu bentuk penyangkalan diri, di mana kita tidak lagi menghendaki sesuatu yang lain daripada kehendak Allah. Dengan pandangan ini kita mempercayakan seluruh diri kita ke dalam tangan-Nya, dan kita semakin terdorong untuk mengasihi dan mengikuti Dia yang terlebih dahulu mengasihi kita.
5. Apa buah-buah dari lectio divina?
Buah-buah dari lectio divina adalah compassio dan operatio ((lih. M. Basil Pennington, Lectio Divina, Ibid., p. 89)). Dengan persatuan kita dengan Tuhan, maka kita membuka diri juga untuk lebih memperhatikan dan mengasihi sesama dan ciptaan Tuhan yang lain. Kita juga didorong untuk melakukan tindakan nyata untuk membantu sesama yang membutuhkan pertolongan, ataupun untuk selalu mengusahakan perdamaian dengan semua orang. Dengan demikian perbuatan kita menjadi kesatuan dengan doa kita, atau dengan perkataan lain kita memiliki perpaduan sikap Maria dan Martha (lih. Luk 10:38-42).
6. Mari, memulai perjalanan iman dengan lectio divina
Jika kita membaca pengalaman para orang kudus, kita mengetahui bahwa banyak dari mereka menerapkan lectio divina dalam kehidupan rohani mereka. Diakui bahwa perjalanan menuju contemplatio bukan sesuatu yang mudah, karena memerlukan disiplin dan kesetiaan kita untuk menyediakan waktu untuk berdoa. Namun demikian, sesungguhnya setiap orang dapat mulai menerapkan lectio divina ini dalam kehidupan sehari-hari.
Banyak orang keliru jika berpikir bahwa membaca dan merenungkan Kitab Suci secara pribadi hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu yang tingkat pendidikan yang tinggi tentang Kitab Suci. Kenyataannya, sebagian besar perikop Kitab Suci tidak sulit di-interpretasikan. Bahkan perikop yang mengandung ayat yang sulit sekalipun, akan tetap berguna untuk direnungkan. Maka sesungguhnya, tidak ada alasan bagi kita untuk malas membaca dan merenungkan Kitab Suci. Kita dapat menggunakan ayat-ayat Kitab Suci untuk berdoa dan untuk menjadi penuntun sikap kita sehari-hari. Membaca atau menghafalkan ayat- ayat Kitab Suci adalah sesuatu yang baik, tetapi alangkah lebih baik jika kita meresapkannya dan membiarkan hidup kita terus menerus diubah olehnya. Tentu, ke arah yang lebih baik, agar kita semakin dapat mengikuti teladan Kristus Tuhan kita.
VI. Kesimpulan
Untuk memberitahukan rencana keselamatanNya, Allah berbicara pada GerejaNya melalui Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium. Ketiga hal ini adalah karunia Allah yang tidak terpisahkan untuk menyampaikan kebenaran melalui GerejaNya. Perlu kita ingat bahwa Rasul Paulus sendiri berkata bahwa Gereja adalah “jemaat dari Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran” (1Tim 3:15). Karena wahyu Allah dinyatakan dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci dan keduanya berasal dari Allah, kita harus menerima dan menghormati keduanya dengan hormat yang sama ((Lihat Katekismus Gereja Katolik, 82, “Dengan demikian maka Gereja, yang dipercayakan untuk meneruskan dan menjelaskan wahyu, “menimba kepastiannya tentang segala sesuatu yang diwahyukan bukan hanya melalui Kitab Suci. Maka dari itu keduanya (baik Tradisi maupun kitab suci) harus diterima dan dihormati dengan cita rasa kesalehan dan hormat yang sama” (Dei Verbum, 9)).
Dengan demikian, Kitab Suci harus dibaca dalam terang Tradisi Suci, dengan memperhatikan analogi iman; dan interpretasi suatu ayat dalam Kitab Suci harus memperhatikan artinya dalam kesatuan seluruh Kitab Suci. Selanjutnya, di dalam hal iman dan moral, kita harus menginterpretasikan Kitab Suci dengan menempatkan pemahaman Magisterium Gereja di atas pemahaman pribadi, karena kepada merekalah telah dipercayakan tugas mengartikan Wahyu Allah secara otentik. Namun hal ini janganlah sampai mengurangi semangat kita untuk membaca Kitab Suci, karena Gereja mengajarkan kita agar kita rajin membaca Kitab Suci dan mempelajarinya, sebab melalui Kitab Suci kita dibawa pada ”pengenalan yang mulia akan Kristus” (Flp 3:8). ((Lihat Dei Verbum, 25, “Begitu pula Konsili suci mendesak dengan sangat dan istimewa semua orang beriman, terutama para religius, supaya dengan sering kali membaca kitab-kitab ilahi memperoleh “pengertian yang mulia akan Yesus Kristus” (Flp3:8) )) Ini adalah suatu tantangan buat kita semua yang mengatakan bahwa kita mengenal dan mengasihi Yesus.
Dengan menyadari bahwa penulisan Kitab Suci melibatkan Roh Kudus sebagai Penyebab (auctor) dan sang penulis Kitab, maka tidak dapatlah dikesampingkan faktor- faktor keilahian dalam Kitab Suci, maupun faktor latar belakang penulisnya. Dengan demikian harus dihindari kedua cara interpretasi ini: 1) yang meniadakan faktor keilahian dalam Kitab Suci, dan hanya menganggapnya sebagai buku sejarah (hermenetik sekular); dan 2) yang menganggap ketiadaan faktor latar belakang sejarah, dengan menganggap Kitab Suci sebagai hasil ‘dikte’ dari Roh Kudus tanpa ada keterlibatan sang manusia penulis (fundamentalisme). Dengan melihat adanya kerjasama antara ilham Roh Kudus dan manusia penulisnya, Kitab Suci diartikan dengan menggunakan empat prinsip; yaitu bahwa setiap ayat mempunyai makna literal (apa kejadiannya), allegoris (apa yang harus dipercaya), moral (apa yang harus dilakukan) dan anagogis (apa tujuan akhirnya). Di samping itu, untuk mengetahui keempat arti tersebut, peran gaya bahasa penulis Kitab sangatlah penting untuk dipahami.
Akhirnya, permenungan akan makna Sabda Tuhan dapat dilakukan dengan cara lectio divina, yang terdiri dari empat tahapan yaitu membaca Kitab Suci (lectio), merenungkannya (meditatio), berdoa (oratio), menghayati persatuan dengan Allah (contemplatio). Selanjutnya, buah yang ditunjukkannya adalah belas kasihan dan perbuatan baik (compassio dan operatio) yang membawa kepada pertumbuhan hidup rohani menuju kekudusan dalam persahabatan yang erat dengan Allah dan sesama.
“O, Tuhan Yesus, tambahkanlah di dalam hatiku, kasih kepada-Mu; sehingga aku dapat setia menginginkan persahabatan dengan Engkau melalui doa dan Sabda.”
Catatan: bahan ini diberikan untuk seminar tentang Kitab Suci di paroki St. Matias Cinere yang dihadiri anggota Kelasi (Keluarga Evangelisasi / Alumni KEP)
http://www.katolisitas.org/bagaimana-menginterpretasikan-kitab-suci-menurut-pengajaran-gereja-katolik/
Berikut adalah materi apologetik yang tersedia di Ekaristi dot Org, silakan klik link-link di bawah ini :
No comments:
Post a Comment